Amitabh Bachchan, Angry Young Man, Sejarah Film India, terjemahan

Lelaki Pemalu dan Amarahnya (Bag. 6 Habis)

Oleh Mihir Bose; Terj. Mahfud Ikhwan

Sholay, Deewar, Amar Akbar Anthony…

Sebagai sebuah film, Sholay memecahkan semua rekor: film ini diputar tanpa putus selama 286 minggu di Bioskop Minerva Bombai. Pada Filmfare Award ke-50, Sholay diakui sebagai film terbaik dalam 50 tahun, lalu ditahbiskan sebagai “Film of the Millenium” oleh BBC India lewat polling internet pada 1999. Ia juga jadi film dengan penghasilan tertinggi sepanjang masa, dengan mengumpulkan Rs. 2.134.500.000 (atau 50 juta dolar AS), sebuah rekor yang bertahan hingga 1994, sampai Hum Apke Hain Kaun mematahkannya. Sholay secara luas diakui oleh para kritikus film sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat Bollywood dan paling banyak ditonton, sekaligus merevolusi perfilman Hindi—menjadikan penulisan-naskah jadi pekerjaan yang benar-benar profesional. Sholay adalah film film Hindi (dan boleh jadi film India) pertama yang memiliki soundtrack stereofonik. Sutradara Shekhar Kapur pernah bilang, “Tak ada yang pernah bisa lebih mendefinisikan film di layar lebar India (melebihi Sholay). Industri film India dapat dipilah menjadi dua, yaitu Sebelum Sholay dan Sesudah Sholay.”

Dialog di film itu sangat dikenal, sementara beberapa baris paling dramatis biasa digunakan oleh orang-orang India dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana dialog dari The Godfather pertama, yang dibintangi Marlon Brando, biasa ditirukan oleh orang Barat. Film ini lazim dipakai untuk menjual semua jenis barang, mulai dari biskuit gandum sampai sirup obat batuk. Calo tiket gelap di Delhi bisa mendapat banyak uang dan bisa membangun rumah dari keuntungan yang didapatnya; dokar di kota-kota macam Patna dinamai Dhanno, si kuda yang ada di film; lalu, seorang aktor yang hanya bicara satu kata namun melakukan adegan dramatis, yaitu sebagai seseorang yang berdiri di atas bukit sambil memegang bedil, segera dikenali oleh petugas imigrasi New York saat ia melambaikan tangan.

Butuh dua tahun untuk membuat film ini, sementara para aktor dan aktris yang ikut andil di dalamnya punya agenda masing-masing, menyimpan cerita lain yang berlawanan dengan cerita yang sedang berusaha mereka buat, dengan satu pasangan ingin merengkuh cinta yang terlarang, pasangan lainnya malah menikah saat film dibuat, sementara pihak ketika, yang gagal mendapatkan cintanya, memilih minuman dan kemudian pelan-pelan terbuang dari percaturan.

Pembuatan film itu sendiri, dan variasi plot dan kontra plot di antara para pemainnya, tampaknya pantas untuk dibuat film sendiri. Lalu, beberapa tahun kemudian, Anupama Chopra akan menulis salah satu buku terbaik tentang kebangkitan sinema India: Sholay: The Making of a Clasic. Film tersebut, dan orang-orang yang terlibat membuatnya, dengan cara masing-masing merefleksikan kehidupan India kontemporer.

Tahun rilisnya Sholay juga menjadi tahun rilisnya film Amitabh lainnya: Deewar. Sementara Sholay menangguk semua sukses komersial, Deewar melahap semua penghargaan terhormat Filmfare Award tahun itu. Dua tahun kemudian muncullah Amar Akbar Anthony yang segera menjadi film cult hebat. Dua sutradara yang bekerja dengan Amitabh (di dua film terakhir) sama sekali berbeda dengan Ramesh Sippy, sutradara Sholay. Namun, kedua orang itu juga benar-benar berbeda satu sama lain.

Deewar disutradarai Yash Chopra yang saat itu sudah tak lagi dikenal sebagai adik dari B.R. Chopra. Lagi pula, setelah lama hidup bersama sebagai keluarga yang rukun, kakak-adik itu berpisah karena pertengkaran pelik yang disebabkan perkara sepele, sebagaimana dituturkan oleh penulis biografi Yash Chopra sendiri. Amar Akbar Anthony, sementara itu, disutradarai Manmohan Desai, yang seperti api dan air dengan Chopra.

Yash Copra membangun reputasinya di Bollywood sebagai seorang sutradara yang menemukan dirinya kembali di tiap dekade. Meskipun Chopra nantinya dikenal sebagai “raja film romantis”, ia juga membuat film yang dikenal sebagai triller klasik, atau drama menye-menye. Sejak umur tigabelas dibesarkan oleh B.R., kakaknya yang delapanbelas tahun lebih tua, Yash menunjukkan gayanya tersendiri sejak pertama kali menangani film B.R. yang dipercayakan kepadanya, Dhool Ka Phool. Ini adalah kisah tentang perempuan yang dikhianati kekasihnya dan oleh takdir karena mesti mengandung anak tidak sah. Dalam Dharmputra, Yash Chopra mengangkat kisah seorang Muslim yang dibesarkan di keluarga Hindu terpandang yang, karena tidak tahu asal-usulnya, menjadi seorang Hindu fanatik. Pada Ittefaq, film perintis lain, sebuah triller tanpa lagu, menceritakan seorang lelaki yang dituduh membunuh istrinya dan perempuan lain yang memberinya tumpangan.

Namun Deewar dan asosiasinya dengan Amitabh Bachchanlah yang yang menandai periode paling suksesnya. Bachchan boleh jadi menabalkan cap dirinya sebagai angry young man dengan film Zanjeer, namun Deewar adalah titik berangkatnya. Seperti kebanyakan film Bollywood, kisahnya banyak mengambil dari Mother India, meskipun ada beberapa film yang tidak melakukannya. Bagaimanapun, film ini mematahkan banyak aturan tak tertulis yang sudah sangat lama mapan di Bollywood.

Deewar hanya punya dua lagu, yaitu sebuah qawwali dan satu lagu titel; jagoannya membelot jadi penjahat; tak ada tokoh gadis suci, hanya sebuah peran kecil untuk jagoan perempuannya, dan sedikit cinta-cintaan; si bapak yang menghilang akhirnya mati sia-sia tanpa mengubah adegan akhir yang menggambarkan reuni keluarga (hal yang khas Bollywood); lalu, si jagoan mati di tangan saudaranya sendiri.

Di Mother India, sang ibu membunuh anaknya; di Deewar, Vijay, si anak berperangai buruk yang dimainkan Bachchan, dibunuh oleh saudaranya, Ravi, yang dimainkan Shashi Kapoor. Klimaks cerita melibatkan tembak-tembakan, dan Vijay akhirnya mati di pangkuan ibunya di depan sebuah kuil.

Keterlibatan Bachchan di Deewar dimulai dengan cara tradisional. Ia sedang syuting film lain ketika penulis naskah, Salim-Javed, menceritakan kisahnya kepada Bachchan. “Kami sepakat bahwa Yash Chopra akan cocok untuk menyutradarainya. Salim-Javed dan aku pergi bertemu dengan Yashji di Girnat Apartments di Pali Hill, tempat ia saat itu tinggal,” kata Bachchan.

Bagi Bachchan, Deewar adalah film yang kejam dan tanpa-ampun. “Di situ tak ada syuting ulang, tak ada pengambilan gambar canggih untuk memberi highlight beberapa adegan laga yang menakjubkan, dan tak ada perlengkapan pelindung bagi keselamatan pemain (sebab saat itu memang belum ada). Para pemeran pengganti dan para artis kesakitan dalam diam. Hal yang paling menarik justru terjadi di belakang kamera, di mana Yash Chopra yang sangat larut dan bersemangat tak henti-hentinya membelasah asistennya setiap ia berteriak ‘Eksyen!’”

Adalah Manmohan Desai sendiri yang menarasikan cerita Amar Akbar Anthony kepada Bachchan. Tapi, tak seperti Deewar yang langsung menawan hatinya, ia tak percaya dengan cerita film itu. “Ketika Manmohan Desai menceritakan isi cerita Amar Akbar Anthony di Lapangan Mangal pada suatu malam, aku dibikin gusar. Aku tak pernah lihat atau dengar ada orang macam Anthony. Aku tertawa terpingkal-pingkal. ‘Man (demikian teman-temannya memanggilnya), kau ini habis nonton film apa?’ Ia langsung menukas, ‘Dengar, Bung! Begitu film ini rilis, orang-orang di jalanan akan memanggilmu Anthonybhai’. Dan ia sungguh benar. Sepanjang pembuatan AAA, isinya cuma ketawa melulu. Ketika aku menghela kuda mungil itu, Tonga, menyapu lantai untuk masuk ke adegan berikutnya, itu semua usaha banyak orang. Banyak senangnya, banyak gembiranya… casting aktor yang hebat… dan ‘Man’ membimbing kami semua. Bahkan adegan paling konyol sekalipun direncanakan dengan teliti.”

Kisah Amar Akbar Anthony adalah salah satu cerita klasik satunya budaya India, meskipun berbeda-beda agama. Ceritanya, seorang ayah yang sedang kesusahan menelantarkan tiga anaknya. Anak yang pertama, Amar, tetap menjadi Hindu; anak kedua, Akbar, menjadi seorang Muslim; sementara anak ketiga mendapati dirinya ada di dalam gereja, kemudian menjadi Anthony, yang dimainkan Amitabh. Kisah penelantaran anak adalah sajian utama Bollywood, namun belum ada yang melakukan dengan cara macam itu, dengan simbolisme seperti itu. Dalam film, keluarga itu tercerai-berai pada 15 Agustus, persis seperti yang dialami India pada 1947 (saat mengalami Partisi—penerj.). Meski dibesarkan dengan agama yang berbeda-beda, film ini menggemakan bahwa mereka semua bersaudara. Kredit pembuka disertai dengan kutipan, “Khoon khoon hotaa hai paani nahin” (Darah adalah darah, bukan air). Lewat penggambaran keluarga yang akhirnya bersatu, pesannya adalah: persatuan dan kesatuan seluruh India setelah melewati penderitaan akan kehilangan dan kepedihan.

Setelahnya, Manmohan Desai adalah seorang pembuat tren di industri film. Film-filmnya kebanyakan beradegan luar ruangan, atau ruangan studio yang sudah direkayasa agar terlihat seperti di luar ruangan, di mana kehidupan sehari-hari bisa bisa berubah jadi khayalan. Seperti yang belakangan dibilang Bachchan, “Film-film Manmohan Desai bisa dideskripsikan sebagai ‘fanatisasi’ ekspresi idealisme romantik… cinta, kehormatan, perpisahan, keteguhan, dan penyatuan kembali yang menjadi obsesi abadi… sementara secara bersamaan juga senantiasa mengandung elemen kunci tentang ketakjuban… Mengenal Manmohan Desai adalah mengenal manusia penuh kasih.” Pada intinya, ia mengadopsi formula yang akrab dengan Bollywood.

Dari duapuluh film yang disutradarainya dalam duapuluh sembilan tahun karirnya (antara 1960 hingga 1988), tigabelas di antaranya adalah film dengan hit besar. Dari 1973 hingga 1981, ia menciptakan sukses di box office, dengan Amitabh Bachchan menjadi pusat pusarannya.

Manmohan Desai, nama yang berarti ‘pemukau pikiran’, adalah seorang putra Bollywood, namun dengan gaya dan kisah hidup yang sedikit berbeda. Cerita pernikahannya menyimpang dari naskah film-film Bollywood. Jeevan Prabha Gandhi, seorang gadis Marathi, adalah gadis yang tinggal di seberang jalan (dari rumah Manmohan) yang tersenyum dari jendelanya. Meskipun secara teknis ia seorang imigran, pindah bersama keluarga Gujaratinya pada usia empat tahun, Manmohan selalu memandang Bombay sebagai kota kelahirannya, dan ia tumbuh bersama tumbuhnya film.

Ayahnya, Kikubhai Desai, adalah pemilik Paramount Studios, tempat ia memproduksi tigapuluh dua film antara 1931 hingga 1941, sebagian besar adalah film eksyen. Kikubhai meninggal pada usia tigapuluh sembilan akibat infeksi usus buntu karena saat itu belum ada penicilin, yang ironisnya ditemukan sebulan setelah kematiannya. Kematian Kikubhai meninggalkan banyak hutang bagi keluarganya. Kalavati, sang istri, terpaksa menjual bungalow milik keluarga dan sejumlah mobil untuk menunjang kehidupan keluarganya, sekaligus sekuat tenaga mempertahankan studio peninggalan suaminya yang memberi pemasukan bulanan sebesar 500 rupee bagi keluarga yang hidup dalam rumah empat kamar itu.

Manmohan memperoleh pengalaman pertamanya dengan film ketika saudaranya mulai bekerja kepada Homi Wadia. Sang saudara kemudian menjadi sutradara. Pada 1960, ia memberikan kesempatan kepada Manmohan yang saat itu berusia duapuluh empat untuk menyutradari film pertamanya, Chhalia.

Manmohan sangat jarang membiarkan sesuatu terjadi secara kebetulan. Seperti dikatakan Bachchan, “Satu-satunya adegan yang dilakukan secara spontan dalam film Amar Akbar Anthony adalah adegan mabukku. Ia saat itu tidak berada di lokasi syuting. Ia menyerahkannya kepada asistennya… Aku bilang kepada asistennya bahwa aku akan melakukan adegan mabuk berdasar observasiku kepada seseorang yang mabuk berat di Park Street Kalkuta… karena kalau lihat dua atau tiga orang akan terlalu banyak.”

Diukur dari berbagai segi, hal paling tak terduga yang terjadi dalam kehidupannya adalah kematiannya. Pada 1 Maret 1994, Manmohan Desai jatuh dari loteng rumahnya di Khetwadi, di pusat kota Bombay, yang membuatnya meninggal seketika. Usianya limapuluh tujuh. Tak pernah ada penjelasan apapun kenapa ia mesti merenggut nyawanya sendiri.

 

*Diterjemahkan dari Mihir Bose, Bollywood: A History (2006).

Standar
Amitabh Bachchan, Angry Young Man, Sejarah Film India, terjemahan

Lelaki Pemalu dan Amarahnya (Bag. 5)

Oleh Mihir Bose; terj. Mahfud Ikhwan

 

Zanjeer dan Sukses-sukses Setelahnya

Ia bilang kepada Javed, “Kita sudah dapat jagoan kita.”

Masalahnya sekarang, siapa yang akan jadi jagoan perempuannya?

Penolakan Khanna artinya juga mundurnya Mumtaz. Seorang aktris dari kalangan kelas menengah muslim yang terhormat, yang terkenal karena badannya yang semok dan bibirnya yang menawan, Mumtaz telah membintangi banyak film sukses bersama Khanna, dengan yang paling sukses adalah saat ia memenangi Aktris Terbaik pada 1970. Karena Khanna bukan jagoannya, ia pun tak tertarik lagi. Beruntungnya Amitabh, Jaya Baduri masuk. Putri dari seorang penyair Bengali, Jaya telah menjadi seorang aktris sejak kanak-kanak, ketika pada usia 13 ia bermain di film Satyajit Ray, Mahanagar. Ia juga adalah salah satu lulusan pertama Institut Film Poona yang baru berdiri.

Keduanya sudah pernah berakting bersama, meskipun kerjasama pertama mereka di film Guddi, yang jadi pertemuan pertama mereka, tidak berumur panjang karena, setelah beberapa kali syut, Amitabh mundur dengan alasan yang membingungkan Jaya. Boleh jadi karena saat itu Amitabh punya jadwal sendiri untuk membuat film lebih dari satu dalam satu waktu, yang itu membuatnya tidak cocok dengan tuntutan film tersebut. Seiring berlalunya waktu, Zanjeer pun datang mempersatukan mereka, meskipun dengan cara yang benar-benar India. Menurut Jaya, hal ini bukan kelanjutan dari nonton film bareng, terus pergi sebelum film selesai, sebagaimana yang sekarang diketahui khalayak. Tak ada pacaran ala Barat, tidak juga romantis-romantisan, apalagi pakai lilin segala. Sebagian besar waktu yang mereka habiskan bersama didampingi oleh teman-teman mereka, sementara Amitabh akan mengajaknya berkeliling kota dengan Fiatnya dan menghadiahinya sari-sari yang mahal. Masalahnya, sari-sari tersebut semuanya berwarna putih dengan pelipit jambon, warna yang dibenci Jaya. Meski demikian, Jaya memakainya agar tak mengecewakan Amitabh.

Pembuatan Zanjeer penuh dengan masalah. Pran, yang bermain sebagai seorang Pathan, seorang penjahat yang bersahabat dengan seorang polisi yang tengah menegakkan keadilan, untuk beberapa alasan adalah jualan utama film tersebut. Ia adalah bintang yang sudah mapan. Namun, di hari pertama syuting, ia mengancam mundur dari film setelah ia tahu bahwa ia diharuskan melakukan adegan menyanyi. Lagu dan lirik lagu itu memberinya kesulitan. Sebagai aktor yang telah main menjadi penjahat Bollywood selama hampir tiga dekade, dan dikenal baik di kalangan industri sebagai Pran Sahib, sebagaimana ia dipanggil, ia tidak akan menyanyi dan menari, lebih-lebih pakai lari-lari di antara pohon-pohon. Mehra mesti buru-buru ke rumah Pran, memohon-mohon kepadanya, bilang bahwa tanpanya film itu tak akan laku, sebab Amitabh yang jadi tokoh utamanya tak akan bisa membuat film tersebut jadi box office.

Pran yang merekomendasikan Amitabh tanpa pernah melihatnya mendapati bahwa anak itu masih hijau dan perlu dilatih. Mereka punya satu adegan bersama di kantor polisi ketika Amitabh akan menendang kursi yang akan diduduki oleh Pran untuk menunjukkan amarahnya. Amitabh tak bisa menunjukkan amarah yang semestinya. Ia akrab dengan anak Pran dan, dengan tata krama ala India, ia memanggilnya Paman Pran. Pran bertutur kepada penulis biografinya, “Aku tahu yang bergolak di hatinya. Maka aku bilang kepadanya, ‘Jangan menganggapku sebagai paman. Anggap aku penjahat. Lupakan soal paman-pamanan itu, tendang saja kursinya.’ Setelah itu barulah ia bisa melakukan adegan itu cukup baik. Ia sangat sopan.”

Pran, dalam sosoknya yang ikonik di Zanjeer.

Bollywood tersenyum meremehkan saat film itu belum rilis. Mehra, seorang penulis lirik gagal yang kemudian beralih menjadi sutradara, belum sepenuhnya punya nama. Tim penulis, Salim-Javed, malah tak punya apa-apa untuk diandalkan. Salim adalah seseorang yang bercita-cita jadi aktor, yang memainkan beberapa peran sangat kecil, dan karir aktingnya tak jelas mau ke mana; Javed adalah penulis-upahan yang sibuk menulis dialog-dialog film yang terlupakan. Ketika Zanjeer dibuat, Bandhe Haath, film Bachchan yang lain, tengah rilis dan jeblok. Itu artinya, ia sudah jeblok dalam 13 film, sehingga mood di kamp Zanjeer begitu muram—hal yang membuat Prakash Mehra mengumumkan produksi keduanya yang berjudul Hera Pheri, sebuah komedi yang akan dibintangi Bachchan dan Vinod Khanna, cuma untuk berusaha mengangkat moral Bachchan dan mengentaskannya dari depresi. Namun, pada 23 Mei 1973, ketika Zanjeer buka layar di Liberty Theatre Mumbai, film itu segera mencetak sejarah. Film itu, tanpa disangka, melejit.

Jika sebelum Zanjeer Bachchan adalah orang yang penuh kegagalan, maka setelahnya semua hal yang dilakukannya akan sukses. Dari 70-sekian film yang ia bintangi antara 1973 hingga 1984 (tahun ketika ia mengaso dari film untuk masuk ke politik), hanya tiga film yang gagal balik modal. Sebuah survei di tahun 1984 menunjukkan bahwa, dari 15 film terlaris sepanjang masa di sinema Hindi, 40 persennya dibintangi oleh Bachchan. Bahkan, film-film yang pada awalnya jeblok menjadi film-film sukses setelah dirilis ulang. Malah, film-film Bachchan yang dirilis ulang itu bisa menangguk uang lebih banyak dibanding film-film hit dari aktor lain. Pada 1 Mei 1980, Bachchan menjadi sampul di India Today. Ia difoto dengan jaket merah, menyandar di pohon palem, dengan tajuk besar: The One-Man Industry (Pemain Tunggal Industri Film). Di situ, penulis Vir Sanghvi menyatakan:

“Pada suatu waktu di setiap harinya lebih dari satu laksa (100 ribu) orang menontonnya menyanyi, menari, dan berkelahi di layar bioskop. Setiap tahun, lebih dari empat krore (100 juta) orang menyaksikannya memerangi kekuatan jahat. Setiap ia keluar rumah, investasi seharga 550 krore rupee (500 juta) bertumpu di pundaknya. Seperti dikatakan dengan jengkel oleh produser Prancis Alain Chamaz, yang gagal membujuknya memberikan tanda tangan kontrak, ‘Amitabh Bachchan adalah industri itu sendiri’.”

Bagaimanapun, ketika Zanjeer sedang dibuat, dan sebelum Bachchan menjadi industri film itu sendiri, ia telah terlibat di sebuah film yang mendefinisikan era modern Bollywood; era 1970, dan setelahnya. Jika Mother India dan Mughal-E-Azam adalah film ikonik dari dekade 1950-an dan awal 1960-an, maka film itu, Sholay, telah membuktikan sebagai film paling diingat yang pernah diproduksi Bollywood, yang membawa sinema Hindi ke level yang belum pernah dicapainya.

(Bersambung…)

 

*Diterjemahkan dari Mihir Bose, Bollywood: A History (2006).

Standar
Amitabh Bachchan, Angry Young Man, Sejarah Film India, terjemahan

Lelaki Pemalu dan Amarahnya (Bag. 4)*

Oleh Mihir Bose; Terj. Mahfud Ikhwan 

 

Khanna vs Bahchcan

Rajesh Khanna dan Amitabh Bachchan benar-benar berbeda. Penulis Shobhaa De membuat paparan sangat jelas betapa berbedanya dua orang ini.

“Amitabh adalah sosok yang tidak mencolok. Anda bisa mengenali suaranya, matanya, dan di atas semuanya adalah auranya. Itu adalah aura yang berhasil mengubah orang atau individu paling biasa menjadi manusia setengah dewa. Amitabh memakai aura itu dengan sangat baik. Atau memanfaatkannya, sampai kemudian karir dan imejnya mulai merosot. Dengan hal itulah, ia tetap setingkat di atas Khanna… Namun Khanna memang bukan bagian dari lingkaran Nehru-Gandhi. Ia cuma anak kota biasa yang baik-baik saja. Amitabh muncul dengan paket lengkap, dan seluruh pendahulunya sudah jelas-jelas mempersiapkan (tempat untuk)-nya. Bicaranya tertata, bagus bacaannya, berbudi-bahasa dan tahu tatakrama, ia adalah jenis orang yang nyaman dengan dunia salon. Tidak dengan Rajesh, yang menangggung beban yang tak terhitung dan dirundung keraguan atas kemampuan diri sendiri. Keduanya jeblok saat masuk politik—Amitabh langsung terlempar di babak awal, sementara Rajesh terkatung-katung di sana. Rajesh ditandai oleh perasaan tercampakkan yang tak ditutupinya, sementara Amitabh dengan kediamannya yang disengaja. Satu hal yang sama-sama mereka miliki adalah sikap acuh-tak-acuh. Rajesh boleh jadi menjadi kakaji (paman) bagi orang-orang yang menggantungkan hidup kepadanya, sementara Amitabh bisa berpura-pura berbaur dengan para sosialita penjilat yang mati-matian ingin menari bersamanya di depan publik. Namun, tak ada yang akan menepuk punggung mereka atau bertingkah sok akrab dengan keduanya. Itu penting bagi megabintang yang tengah meredup untuk menjaga jarak, agar daya sihir itu tetap awet.”

Tentu saja Shobhaa De menulis hal ini pada 1998, ketika Amitbah tampak tengah jatuh dan tersingkir, dan baru bisa bangkit kembali lewat televisi dan kemudian balik lagi ke film.

Rajesh Khanna, lahir dengan nama Jatin Khanna, adalah seorang anak angkat yang, setelah sempat menjajal sebentar dunia teater, memenangkan kontes bakat—sesuatu yang tak pernah diraih oleh Amitabh. Ia membuat debutnya lewat film garapan Chetan Anand, Aakhiri Khat (1966). Mengingat nama besar Chetan Anand di dunia film, ini jelas awal yang sangat berbeda, laksana langit dan bumi, jika dibandingkan dengan yang dialami Bachchan bersama filmnya Abbas di Goa. Pada 1969, ketika Amitabh masih berkeliling mengempit foto hasil jepretan Ajitabh, Khanna sudah bermain dua peran, ayah dan anak yang sama-sama jadi pilot, dalam Aradhana. Sosoknya yang gagah dalam balutan seragam, tingkah yang ia suguhkan, bagaimana ia mengerlingkan mata dan menggelengkan kepala saat memberi isyarat kepada gadis yang jadi pasangannya, segera membuatnya menjadi pahlawan romantis paling dipuja. Lagu-lagu dari R.D. Burman juga membantu film tersebut menjadi hit besar.

Pada Desember 1969, Khanna kembali membintangi film lain, Do Raaste-nya Raj Khosla. Hasilnya adalah kegemparan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Bollywood. Ketika Do Raaste mulai tayang di Roxy, di seberang jalan Aradhana yang diputar di Opera House sedang laku-lakunya. Dan Bombay menyaksikan fenomena luar biasa: dua film yang dibintangi orang yang sama, di saat yang sama, sama-sama penuh sesak oleh penonton.

Fenomena Rajesh Khanna ini menenggelamkan semua orang di Bollywood, dan histeria yang ditimbulkannya tak ada yang menandingi, baik sebelum maupun setelahnya. Dengan hit demi hit, sementara seluruh perempuan di seluruh penjuru negeri dibuat kejang-kejang olehnya, Rajesh Khanna mengaku merasa “ada di sisi Tuhan”. Lima tahun kemudian, pada 1977, manakala Amitabh Bachchan tengah memantapkan namanya menjadi pahlawan terbesar Bollywood, tanpa tanding, karir Khanna tengah menukik. Dikisahkan, pada suatu sore, ia keluar dari rumah, berdiri di teras, di bawah guyuran hujan, dan bertanya kepada Tuhan, kenapa ia mendapatkan cobaan sebegitu rupa.

Bachchan tahu bahwa ia berada di bawah bayang-bayang sang superstar. Maka, pada 1970, ia dengan senang hati menerima tawaran untuk berperan menjadi seorang dokter bagi seorang pasien yang tengah sekarat, Anand, yang dimainkan Khanna dalam film yang berjudul Anand. Motivasi Bachchan adalah apabila ia bermain bersama sang superstar, maka ia akan memperoleh perhatian. Ini berkat nasihat Mehmood, seorang aktor dan sutradara. Mehmood adalah saudara Anwar Ali, yang merupakan karib Bachchan. Lewat perantaranyalah Bachchan bisa numpang di rumah Mehmood yang selalu terbuka dan bisa mengenalnya, dan mengajaknya main di Bombay to Goa (1972). Mehmood menasihati, “Rancanglah penampilanmu di samping Rajesh Khanna. Bayangkan dia sekarat… itu pasti akan hebat… seluruh negeri pasti akan menangis tersedu-sedu.”

Dan begitulah yang kemudian terjadi, kata Bachchan. “Yang jelas, menjadi satu tim dengan Rajesh Khanna, idola terbesar India, membuatku mendapatkan tempat penting dan terhormat yang sama (dengannya).”

Belakangan Bachchan mengatakan, “Rajesh Khanna—yang namanya telah bercap superstar—membuatku memperoleh perhatian. Juga tentu saja karena kisah yang menakjubkan dan naskah yang luar biasanya yang ditulis Hrishida (panggilan untuk Hrishikesh Mukerjee, sutradara Anand—penerj.). Film itu terlihat begitu nyata, membuat para penggemar Rajesh Khanna benar-benar nelangsa.”

Adegan terakhir menunjukkan (tokoh yang dimainkan) Bachchan, seorang dokter yang murung, sensitif, tengah menyaksikan (tokoh yang dimainkan) Khanna, seorang pasien yang menanggung rasa sakit dan deritanya dengan senyum dan senantiasa menunjukkan semangat hidup, mati. Yang sangat menolong adalah bahwa film ini dibuat oleh para lulusan dari apa yang disebut sebagai Sekolah Film Bimal Roy; Hrishikesh Mukerjee, sang sutradara, yang juga penggagas cerita, dan Gulzar, yang menulis naskah, adalah para (bekas) asisten Roy, dengan musik digarap oleh Salil Chowdhury.

Saat pembuatan film ini, ikatan persahabatan terbangun antara Bachchan dan Mukerjee; Bachchan memuja sang sutradara dan akan bilang dengan nada mesra betapa Mukerjee telah menenangkannya ketika ia memainkan adegan terakhir manakala (tokoh yang diperankan) Khanna mati. Memikirkan bagaimana penampilannya di adegan itu membuatnya jadi sangat grogi dan tak mampu tampil dengan baik, sampai Mukerjee menenangkannya. Dengan Mukerjee-lah Bachchan bermain di delapan film, paling banyak dibanding dengan sutradara lain. Pada tahun-tahun yang akan datang, Bachchan akan disutradarai oleh banyak orang, tapi Mukerjee-lah yang selalu jadi tolok ukurnya bagaimana seorang sutradara memperlakukan dirinya—sementara beberapa sutradara juga meminta masukan dari Mukerjee bagaimana cara menangani Bachchan. […]

Penampilan Bachchan memenangkan Filmfare Award untuk Aktor Pembantu Terbaik. Meski para kritikus sudah mulai memberi perhatian kepadanya, dan memberikan pujiannya, tak ada seorang pun yang berpikir bahwa ia akan lebih dari sekadar aktor watak yang kuat, semacam Balraj Sahni versi ’70-an. Namun, setidaknya, ada yang berubah dari seorang kritikus yang selalu menulis jelek dan tanpa ampun tentangnya, Bikram Singh, seorang kritikus film dari The Times of India, yang oleh Bachchan dibilang, “selalu muak dengan kemuraman wajah dan tatapan kosongku.” Ini adalah kesuksesan pertamanya, saat ia benar-benar menunjukkan kemampuan aktingnya. Bombay to Goa garapan Mehmood juga sukses di box office, namun di situ Bachchan cuma nongol sebagai kameo konyol saja.

Namun, mengingat Bollywood tak berbeda dengan semua industri sinema, yang mana box office di atas segalanya, Bombay to Goa tetap menarik perhatian. Pada tahun berikutnya, sutradara Prakash Mehra mencanangkan membuat Zanjeer. Ia pun melirik Amitabh, meskipun Bachchan cuma pilihan kelima setelah Dev Anand, Raaj Kumar, Dharmendra, dan Rajesh Khanna. Dev Anand, pilihan pertama Mehra, minta diizinkan untuk menyanyi lebih banyak lagu, namun Mehra bersikeras bahwa jenis karakter di film ini tak memungkinkan untuk itu. Yang aneh, Anand malah menawarkan diri untuk menjadi produser dan mendanai film itu lewat Navketan (perusahaan film milik Dev Anand dan saudaranya Chetan Anand—penerj.) dan menawari Mehra untuk jadi sutradaranya. Itu tawaran yang membuat Mehra terkejut, sebab awalnya ia menawari sang aktor veteran satu peran dan di akhir justru ialah yang ditawari pekerjaan.

Mehra kemudian membuat janji dengan Dharmendra, tapi waktunya tidak cocok dengan jadwalnya. Rajesh Khanna, sementara itu, merasa bahwa karakter si tokoh utama tak cocok dengan imejnya yang romantis. Pran, yang akan memainkan tokoh Pathan di film, kemudian menyarankan Mehra untuk menonton Bombay to Goa, khususnya untuk melihat si aktor muda, Amitabh. Maka, disertai dua penulis naskah, Salim Khan dan Javed Akhtar, yang di Bollywood dikenal sebagai duo Salim-Javed, Mehra pergi ke bioskop.

Seperti yang sudah terjadi, Pran, yang tak pernah suka nonton film di bioskop, sebenarnya belum menonton film itu. Ia hanya mengandalkan apa yang dikatakan anaknya kepadanya. Film itu punya satu adegan perkelahian, dan tepat di momen saat melihat adegan itu Mehra berteriak: “Mil gaya!”, yang berarti “kita dapat!”. Ketika seluruh orang di bioskop dibuat terkejut oleh teriakannya, Mehra bangkit dari duduknya dan keluar begitu saja. Ia tak butuh menonton film itu sampai selesai.

Ia bilang kepada Javed, “Kita sudah dapat jagoan kita.”

(Bersambung…)

 

*Diterjemahkan dari Mihir Bose, Bollywood: A History (2006), khususnya bab 15, ‘A Shy Man and His Use of Anger’.

Standar
Film India dan Politik, Sejarah Film India, terjemahan

Teater dan Aktivisme di India Tahun 940-an*

Oleh Zohra Segal**; Terj. Mahfud Ikhwan

Sejak awal 1940-an, Bombay mempunyai sekumpulan penulis  yang kemudian membentuk Progressive Writers’ Association (PWA, Asosiasi Penulis Progresif). Di antara mereka yang bersinar adalah Khwaja Ahmed Abbas, Mulk Raj Anand, Sardar Jaffret, dan Rajinder Singh Bedi. Di antara kelompok ini terdapat seorang jurnalis muda dari Bangalore, Miss Anil de Silva, yang punya ide untuk memulai sebuah gerakan teater rakyat. Ide itu diterima seperti api bertemu ranting kering, dan India People’s Theatre Association (IPTA, Asosiasi Teater Rakyat India) pun lahir.

IPTA adalah organisasi nirlaba yang bertujuan untuk menggemakan suara kalangan seniman melawan ketidakadilan yang tengah mengangkangi negeri. Lagu-lagu, sajak, balet, dan naskah drama diarahkan untuk tujuan ini, dan setiap seniman di berbagai jenis menjadi bagian dari IPTA. Asosiasi ini menarik banyak bakat seperti sari bunga mengundang lebah, dan setiap cabang kesenian ditampilkan dengan sehormat-hormatnya.

Di antara para aktor dan aktris panggung, tersebutlah nama Prithviraj Kapoor (dua kali calon presiden IPTA), Balraj dan Damayanti Sahni, Chetan dan Uma Anand, Uzra dan Hamid Butt, Dina Gandhi, Habib Tanvir, Krishan Dhavan, Safdar Mir, Hima Kesarkodi, Romesh Thapar, Sarju Pandeyu, dan Shaukat Kaifi. Di luar para penulis yang telah disebut di awal, anggota IPTA juga mencakup penulis macam Krishan Chander, Ismat Chughtai, Kartar Singh Duggal, Vishvamitter Adil, Balvant Gargi, dan masih banyak lagi. Di kalangan penari, ada nama Shanti dan Gul Bardhan, Narendra Sharma, Shanta Gandhi, Debendra Shankar, Sachin Shankar, Prabhat Ganguly, sementara di musik ada nama Ravi Shankar, Salil Chowdhry, Sachin Dev Burman, Sisir Sovan, Nagen Dey, Jatindranath Goloi, Abani Das Gupta, dan lain-lain. Dunia film diwakili oleh para selebritas seperti David, Mubarak, Shahid Lateef, Shyam, Agha, Sajjan, dan Khan. Para penyair juga tak ketinggalan. Di antara mereka adalah Harindranath Chattopadhyaya, Faiz Ahmad Faiz, Niaz Haidar, Akhtarul Iman, Miraji dan Prem Dhavan. Penyanyi rakyat seperti Binoy Roy dan saudarinya, demikian juga dengan Amar Sheikh, mampu mengumpulkan banyak massa dengan suara mereka yang memukau. Singkat kata, setiap seniman yang hidup di Bombay antara tahun 1940-50-an punya koneksi dengan IPTA dalam satu atau lain hal.

Organisasi ini berorientasi kiri dan, lazimnya pada masa itu, beberapa anggotanya adalah Komunis. Meski demikian, hanya (apa yang disebut sebagai) Cultural Squad (Laskar Budaya) saja yang didukung oleh Partai Komunis. Komite Sentral merencanakan program sehari-hari asosiasi dan memilih presiden dan wakil presiden yang berubah dalam dua atau tiga tahun. Kami biasa berkumpul pada malam hari usai kerja keseharian kami. Semangat para anggota IPTA membuat tak ada orang yang mengeluh meski mesti meluangkan waktu lebih untuk tugas organisasi. Sesekali, saat kami beruntung, kami manggung di gedung teater, namun yang sering terjadi kami tampil di ruang aula, karena sewanya yang lebih murah. Lebih banyak lagi penampilan dilakukan di mana saja, termasuk di jalanan atau di halaman rumah orang, sehingga penonton bisa membaur (dengan pemain). Ide baru tentang pagelaran teater dengan cara ini kemudian menjamur di kota-kota besar di India. IPTA Calcutta menjadi salah satu yang terdepan—Utpal Dutt, Shambu Mitra, dan Tripti Mitra adalah contoh mencolok dari aktor dan sutradara berbakat. Sama halnya IPTA Bombay yang biasa menggali cerita rakyat dari tradisi teater Marathi, memungut tamasha dan pawada sebagai bentuk ekspresi seni, maka para seniman Bengali memanfaatkan jatra, teater rakyat daerah mereka, sebagai medium.

Seiring sejalan dengan masuknya India di babak akhir perjuangan kemerdekaanya, tema lagu dan lakon biasanya radikal dan berorientasi kiri, yang menginpirasi dan menyatukan kami untuk ambil bagian. Bergabung dengan IPTA tak lama setelah tiba di Bombay pada 1945, saya mengambil peran aktif dalam lakon-lakon tersebut. Pada 1947, saat Pemerintahan Sementara menunjuk Jawaharlal Nehru sebagai wakil presiden, beberapa cabang IPTA menderita pelarangan, sementara beberapa jenis lakon kena sensor, dan para aktornya diperintahkan untuk ditangkap. Aku yang saat itu dinominasikan sebagai vice presiden IPTA dengan bodohnya menulis sebuah surat yang bernada pongah kepada Pandit Nehru: “Aku menulis kepada Anda sebagai sesama vice presiden…” sembari menjelaskan kepadanya kekerasan yang kami terima dan meminta ia menjadi pelerai. Bayangkan betapa lancangnya! Ia kemudian membalas dengan sebuah surat yang sangat sopan, menyatakan bahwa ia tak tahu-menahu dengan kekerasan tersebut dan akan meninjau apa yang bisa dilakukannya untuk mengatasi hal itu. Dan tentu saja, setelah beberapa waktu, gangguan terhadap kegiatan kami pun berhenti.

Logo IPTA dalam sebuah prangko India tahun 1994

Secara bertahap, impak dari IPTA meluruh. Boleh jadi karena beberapa senimannya kemudian menjadi artis populer di perfilman India dan tak lagi memiliki gairah untuk mengabdikan waktunya tanpa imbalan yang cukup. Bisa juga beberapa dari mereka merasa bahwa organisasi ini telah dipengaruhi oleh Partai Komunis India, dan karena mereka memiliki pilihan politik yang berbeda mereka meninggalkan IPTA. Atau, mungkin, sebab negara ini sudah merdeka, dan kaum imperialis sudah diusir, maka dianggap tak diperlukan lagi sebuah gerakan.

Menurut hematku, dua capaian gemilang dari IPTA pada periode tersebut adalah adanya Cultural Squad dan sebuah film berjudul Dharti ke Lal (Anak-anak Bumi). Film itu bersinggungan dengan Kelaparan Bengal, dan ditulis serta disutradarai oleh K.A. Abbas, dengan jajaran pemain dan teknisi yang luar biasa, yang kesemuanya adalah anggota IPTA. Cultural Squad adalah serombongan penari dan musisi, bermarkas di sebuah bangunan yang reyot di pinggiran kota Andheri, yang berkeliling membuat pagelaran di seluruh India dalam tarian balet yang indah berjudul Discovery of India, diambil dari judul buku Jawaharlal Nehru. Pada 1946, P.C. Joshi, sekretaris Partai Komunis, memintaku untuk menangani rombongan ini, namun aku menolak karena aku tidak mungkin bisa bekerja penuh sementara komitmen utamaku kuberikan kepada Prithvi Theatre.

***

Dari sudut pandang keluargaku, idealnya aku tetap di rumah, merawat suami dan anak-anak. Karena kami punya inang dan pembantu, aku bisa mengatur rumah dengan cukup baik jika aku sedang di rumah. Namun, keluarga jadi kalang kabut ketika tur kami dimulai, dan Kameshwar (suamiku) sama sekali tidak sedang dengan kondisi ini. Ujung-ujungnya, rumah tangga jadi terus-terusan tegang. Karena karirku di atas segalanya, aku merawat anak-anak sebisaku, mengawasi mereka dan menemaniku kapan pun aku bisa. Namun, aku tetap pergi ikut tur, kecuali saat aku hendak melahirkan anakku yang kedua, atau jika aku mesti syuting atau menjadi pengatur tari di sebuah film. Tentu saja ada sisi lainnya: ketakhadiran membuat cinta jadi menggebu-gebu! Kapan pun aku kembali ke rumah, bisa berkumpul kembali menjadi sangat luar biasa.

Untuk empat belas tahun ke depannya, hidupku hanya untuk akting. Aku seperti pembuat gerabah yang mengaduk lempung kasar menjadi sesuatu yang jelas bentuknya. Banyak keangkuhan yang berkurang di periode ini. Sebabnya adalah Prithviraj. Alih-alih mengajari, ia lebih banyak berbagi anekdot dan cerita. Tampilannya apa adanya serta memberi teladan tentang seseorang yang telah belajar bagaimana menjalani hidup. Bersama (kelompok teater pimpinan) Uday Shankar, aku diperlakukan sebagai bintang, senantiasa bepergian dengan tiket kelas satu di India, menginap di hotel terbaik. Semua itu berakhir ketika aku bergabung dengan Prithvi Theatres. Prithviraj bepergian bersama kelompok teaternya di kelas tiga, menyatu dengan anggotanya. Meskipun faktanya ia punya kartu pas kelas satu sebagai seorang anggota parlemen, ia tetap saja bepergian bersama kami. Semua makanan dimasak bersama, dan ia makan apa yang kami makan. Kami semua tidur di lantai asrama ketika kami sedang tur, atau di ruangan di atas teater yang disewa, atau rumah inap. Aku mulai menghargai hal-hal macam itu dan berpikir, luar biasa, inilah cara hidup sejati.

Penyesuaian lain juga terjadi. Aku rasa aku punya pandangan sendiri soal teater dan drama, meskipun aku cuma orang bodoh. Dari banyak konsep atau teori yang telah aku geluti, aku kurang sepakat dengan panjangnya sebuah naskah. Aku pikir beberapa naskah terlalu panjang. Berimprovisasi okelah, dan improf dialog kami sudah menjadi bagian dari naskah. Namun, kadang aku merasa Prithviraj mengolornya jadi terlalu panjang, sehingga naskah yang seharusnya dua jam bisa sampai empat jam! Keberatanku soal waktu jadi masukan bagi grup, meskipun beberapa hal tetap tak ada perubahan.

Soal Prithvi dan usahanya yang luar biasa dalam menjaga rombongan teaternya tetap hidup, nyaris seorang diri, dalam 16 tahun, layak dibikin buku sendiri. Karyanya menginspirasiku menulis banyak artikel di majalah pada periode itu, sementara karakternya yang hebat mengajari kami tidak hanya soal akting tapi juga soal hidup. Tak ada manusia sempurna—jika di sana memang ada Tuhan. Namun, aku belum lagi menemukan ada seseorang yang punya atribut ilahiyah namun pada saat yang sama tetap jadi manusia biasa, yang menyenangkan, rendah hati, tulus, tapi juga seteguh karang, baik secara fisik maupun batin.

***

Bibit kiprah Prithviraj Kapoor sudah ditanam di sebuah desa kecil bernama Samundri, di Distrik Lyallpur, Punjab. Prithvi Nath muda, cucu dari seorang tuan tanah Hindu Pathan, mencerap kisah-kisah dari epos Ramayana dan Mahabharata di antara kandang-kandang kerbau. Sebagian besar dari kita boleh jadi juga mengalami hal-hal macam itu, suka tampil di depan sanak-famili atau teman-teman, namun berapa yang bisa menjadi seorang Natya Ratna (Raja Seni Drama) dan meraih gelar dan tropi tertinggi sebagai seorang seniman India, Padma Bhushan? Sang kakek, Diwan Saheb, adalah seorang yang sangat berdisiplin, menanamkan nilai-nilai demokrasi dalam diri keluarga dan anak-cucunya, juga kepada seluruh warganya secara umum. Setiap malam, Prithvi kecil harus membersihkan dan menyalakan lampu di seluruh area rumah dan tanahnya. Ia biasa saling memiting leher dengan seorang anak jongos ketika main kabbadi di ladang. Ini adalah fondasi kecintaannya kepada alam terbuka dan olahraga, dan tertanam di jiwa pemuda itu bahwa seluruh manusia sama di depan Tuhan. Lalu ia pergi belajar ke kampus di Peshawar dan Lahore, di mana ia selalu menjadi sasaran utama kebencian antar-kelompok. Cintanya yang terbesar adalah teater, dan ia mencanangkan diri untuk melahap setiap tahap pelajaran puisi Urdu dan Hindi, untuk memperkuat memorinya dan menyempurnakan diksinya. Ramping dan luar biasa tampan, membuatnya selalu didapuk untuk peran perempuan, sesuatu yang tak mungkin dibayangkan jika melihatnya belakangan, manakala tubuh dan bentuk badannya telah terbentuk sepenuhnya.

Kontaknya dengan pribadi seperti Mrs. Nora Richards, istri dari kepala sekolah, memupuk mimpinya untuk punya grup teater sendiri. Mrs. Nora membimbingnya masuk ke dunia lakon Barat, dan selalu mendukungnya dalam hal akting. Perempuan penting ini kemudian memilih hidup menyendiri di rumahnya di Kangra Valley, namun ia selalu bersamangat mengikuti apa yang dilakukan Prithviraj, dan tentu saja itu semua terwujud di teater di India maupun dunia.

Sosok lain yang memberi bimbingan Prithvi adalah guru tuanya, Professor Jai Dayal dari Edwards College, Peshawar, yang menggemblengnya menjadi aktor andal, mengasah berbagai bakatnya, dan menolongnya memilih karir. Tak mengherankan, Jai Dayal menjadi orang paling bahagia di dunia ketika Prithvi Theatres diluncurkan dan murid favoritnya mendapatkan pengakuan nasional. Di bukunya, I Go South with Prithvi Theatres, Jai Dayal menulis, “Aku punya harapan hadirnya seorang manajer-aktor yang membawa revolusi pemikiran bagi khalayak dengan lakon-lakon dan aktingnya; seseorang yang menyajikan panggung sebagai kaca benggala bagi penonton untuk berkaca; seseorang yang punya keberanian untuk berkata kepada penonton: ‘Itulah DIRIMU!’ Orang macam itulah yang kuimpikan. Dan itu kutemukan pada diri Prithvi.”

Prithviraj_Kapoor

Setelah lulus dari Lahore, Prithviraj masuk ke dunia film dengan membawa serta istrinya yang masih belia, Rama, ke Calcutta. Meskipun kemampuan aktingnya tak perlu dipertanyakan lagi, itu adalah perjuangan yang terjal. Film-film saat itu dibuat dalam dua versi, yaitu dalam bahasa Bengali untuk daerah Bengal dan dalam bahasa Hindi untuk distribusi ke seluruh India. Tak terkecuali, untuk versi regional, seorang aktor Bengali akan menggantikan Prithvi. Boleh jadi karena terlalu kritis dengan sutradara di Bengal dalam mengekspresikan ide-idenya sendiri dalam hal seni peran, maka setelah membuat beberapa film yang patut dikenang, ia pun meninggalkan Calcutta. Ia mengisi lowongan di kelompok teaternya Grant Anderson, seorang manajer-sutradara Ingris yang berkeliling India dengan grup kecilnya, beranggotakan aktor-aktor India, yang biasa menampilkan naskah-naskah Shakespeare dan (George Bernard) Shaw. Pengalaman ini memberi Prithvi cita-rasa hidup dalam rombongan tur, meskipun tak jarang terjadi ia pergi dengan tanpa makanan yang cukup sebab uang hasil penjualan tiket sangat rendah.

Setelah berkeliling ke banyak kota, Grant Anderson akhirnya membubarkan kelompoknya di Hyderabad, dan Prithvi pergi ke Bombay untuk mengadu peruntungannya di sana. Ia memulai dari nol. Ia ikut main film sebagai figuran, namun segera dikenali sosok menonjolnya oleh Ermeline, sripanggung dari perusahaan Ranjit Talkies. Ermeline meminta kepada pemilik sekaligus produser Ranjit Talkies, Seth Ardeshar, untuk mengizinkan cowok ganteng itu bermain bersamanya. Dari situlah namanya dikenal dan membintangi satu film sukses ke film sukses lainnya, dengan puncak kepopulerannya saat ia berperan di Sikander (Iskandar Agung). Meskipun selalu mencintai panggung dan memimpikan punya gedung teater sendiri, ia tak pernah merencanakannya. Tak akan lari gunung dikejar. Ia bilang, “Alam akan menentukan segalanya di saat yang tepat.” Nantinya, ia berusaha keras mewujudkan hal itu ketika seorang teman penulis datang kepadanya dalam keadaan kesusahan. Ia telah menulis sebuah naskah berjudul Shakuntala, dalam Hindi, namun sutradara yang menunjuknya menolak naskah tersebut. Prithvi berkata bahwa ia akan memproduksi sendiri naskah itu dan membayar Betabji, sang penulis, seribu rupee sebagai imbalannya.

***

Maka, terjadilah apa yang terjadi. Tanpa persiapan sebelumnya, Prithvi Theatres berdiri pada 15 Januari 1944. Aktor, aktris, penari, musisi, penyanyi, tukang rias, penjahit, dan tukang kayu mengabungkan diri dalam rombongan ini. Karena Prithvi tak bisa bilang tidak, mereka semua disambutnya dengan tangan terbuka, sampai terkumpullah sekitar 60 orang. Latihan untuk lakon itu pun dimulai, yang ditangani oleh asisten sutradara, mengingat Prithvi sibuk dengan komitmen filmnya. Enam bulan kemudian, ketika Uzra Mumtaz ditemukan memainkan tokoh Zubeida dalam lakon karya Ahmad Abbas, salah seorang tokoh dari IPTA, sang pemeran tokoh utama perempuan akhirnya ditemukan.

Penampilan pertama Shakuntala pada 9 Maret 1945 berujung kerugian finansial mendekati 1 lakh rupee. Namun, untuk merayakan pertunjukan pertama ini, Prithvi memberikan bonus dua bulan gaji kepada seluruh pemain dan kru dengan uang dari sakunya sendiri. Seluruh penghasilan yang didapatkannya dari bermain film dilimpah untuk teater. “Selanjutnya apa?” adalah pertanyaannya. Lakon Sanskrit itu menurutnya terlalu panjang dan tak praktis untuk dipanggungkan, lepas dari betapa indahnya bahasanya serta betapa lengkapnya karakter tokoh-tokohnya. Naskah yang lebih modern karya Agha Hashar, yang sebagian besar merupakan hasil adaptasi dari naskah klasik Barat, lebih tahan lama dan bisa diterima di kalangan penonton teater kontemporer India. Maka, ia kemudian memutuskan untuk membuat lakon baru untuk teaternya.

Bekerja bersama para penulis, Prithviraj mencurahkan semua idenya, alur, dan semua pengalamannya. Lakon itu mestilah dimengerti oleh seluruh orang India dan secara esensial punya tema keindiaan. Gelora nasionalismenya mengahsilkan sebuah lakon yang berbentuk maklumat. Deewar dipentaskan pertama kalinya pada 9 Agustus 1945, mengacu kepada Partisi (pembagian) India yang akan segera terjadi. Tema alegoris lakon itu menggambarkan sebuah tembok permusuhan antara dua saudara yang dibikin oleh seorang sundal dari negeri asing. Ia datang untuk merusak kerukunan dan rasa saling percaya dua bersaudara tersebut. Ia memainkan perasaan kedua bersaudara tersebut, sampai mereka tak lagi tahan untuk tinggal dalam satu rumah. Pertengkaran yang terjadi sehari-hari itu akhirnya mencapai puncaknya ketika keduanya membagi rumah itu menjadi dua dengan membangun tembok di antaranya. Di adegan terakhir, perlawanan sekelompok petani dan perempuan dari seluruh desa berhasil merobohkan tembok kebencian tersebut, sementara dua saudara akhirnya menyadari kekhilafannya dan rukun kembali dengan bahagia, sekaligus membiarkan si penyebar fitnah tetap tinggal, bukan sebagai musuh tapi sebagai teman. Sayangnya, kenyataan tak terjadi seperti di akhir lakon. Tembok itu jadi bangunan yang kokoh. Dialog antara dua bersaudara dan sang sundal itu, khususnya, adalah terjemahan yang nyaris persis dengan pidato dari T.B. Macaulay, Gandhiji, dan Mohammed Ali Jinnah.

Ketika aku menonton pertama kalinya lakon itu, aktris muda berbakat Damayanti Sahni memainkan si sundal. Namun, gadis berwajah menarik ini segera menarik minat dunia film. Aku yang saat itu didapuk sebagai sutradara tari kemudian ditawari untuk memainkan tokoh tersebut, tokoh yang kemudian aku mainkan sampai menjelang akhir pengabdianku dengan kelompok teater tersebut.

Selanjutnya, kelompok teater ini kemudian manggung di Royal Opera House, sebuah bioskop dengan panggung yang besar. Namun, pagelaran kami hanya diizinkan dimainkan di siang hari, atau saat hari libur atau akhir pekan, sebab bioskop dipakai untuk penayangan film pada sore dan malamnya. Secara gradual jadwal kerja kami disusun, mulai dari pertemuan harian di pagi hari, diawali pada pukul 10 dengan satu jam berisi latihan vokal dan menyanyi, satu jam berlatih menari, dan satu jam untuk pelajaran bahasa Hindi dan Urdu.

Kami semua memanggil Prithvi ‘Papaji’, yang artinya kakak. Kalau ia tidak sedang sibuk syuting film, ia akan menangani sendiri kelas latihan vokal. Kalau tidak, Ram Gangoli, sang sutradara musik, akan melatih lagu-lagu dari berbagai naskah bersama seluruh pemain. Kelas menari aku yang mengurus: setengah jam pelemasan dan pengenalan komposisi, sisanya adalah latihan untuk keperluan lakon yang akan dimainkan atau sekadar memastikan ketepatan tampilan panggung para pemain. Setelah bagian permulaan ini, kami baru melakukan latihan naskah sekitar dua jam.

Sebelum latihan dimulai, setiap naskah akan dibacakan kepada seluruh pemain dan kru, untuk dimintakan saran dan kritik. Kecuali Shakuntala, semua naskah diawali dari ide Prithviraj, sebagian didiktekan, kadang ditulisnya sendiri, dan sebagian besar adalah dalam bentuk dialog spontan Prithvi yang kemudian disempurnakan. Semua naskah itu hasil karyanya, produk imajinasinya, suara dari ratapannya atas ketidakadilan dan kepapaan yang diderita tanah airnya, dan ia menunjukkan jalan kebangkitan menuju masa depan yang gilang-gemilang. Tema-tema naskahnya tidak rumit, sebagian besar ditulis dalam bahasa Hindustani, sebuah kombinasi sederhana dari bahasa Hindi dan Urdu yang bisa dimengerti oleh seluruh orang di India Utara. Gayanya alami, dengan tekukan melodrama di klimaknya.

Setelah sangat sukses dengan Deewar di Bombay, kami kemudian menggarap naskah ini dan Shakuntala dalam tur ke beberapa kota tetangga. Kemana pun pergi, kami menciptakan sensasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Membawa serta alat masak-memasak dan perabot rumah tangga, kami menetap di rumah-rumah sewa, sementara anak-anak beserta emban pengasuhnya dibawa serta bersama ibunya. Saat libur sekolah, anak-anak sekolah bahkan bergabung dengan rombongan. Maka, tak aneh, anakku Kiran selalu ambil bagian di nyaris setiap pementasan manakala ia ikut tur bersamaku. Satu tur diikuti tur berikutnya, dan tahun-tahun pun berganti, dan kami mengumpulkan remah-remah kemanusiaan dalam lingkaran ini layaknya sebuah bola salju raksasa… Penyair, penulis, bromocorah, atau bahkan orang yang sekadar iseng, semuanya diwadahi.

Yang coba aku tularkan dalam rombongan ini adalah profesionalisme yang aku pelajari dari Uday Shankar: ketepatan waktu, kesungguhan tata rias, dan latihan sebelum pementasan. Sebagai rombongan teater, secara alami kami tidak punya jenis tari atau gerakan pelemasan tertentu sebelum pertunjukan, namun Prithviraj mengadakan kelas tari reguler yang rutin. Maka, kemana pun kami pergi ke tempat baru, kami semua berkumpul di waktu yang sudah ditentukan pada pagi hari setelah kami mandi dana sarapan, dan dimulai dengan kelas menari yang kutangani. Kelas bahasa Hindu dan Urdu kemudian mengikuti—sebuah nilai tambah yang sangat bagus untuk melatih kesempurnaan diksi dan pengucapan kami. Kadang juga ada kelas Sanskrit (yang di situ aku buruk sekali). Meskipun bahasa Urduku kurang bagus saat itu, belakangan kemudian menjadi lebih baik.

Kelas bahasa kami dipegang oleh seorang sarjana keren bernama Manik Kapoor, yang menguasai bahasa Hindi dan Urdu, di samping Inggris. Tulisan laporannya tentang setiap pementasan dan perjalanan kami memberi kami pengetahuan terhadap semua naskah yang telah dimainkan, siapa aktor utamanya dan siapa pemain pembantunya, di mana tampilnya, berapa kali kami tampil, dan berapa kota yang telah kami singgahi dalam setahun. Catatan ini dibuat dalam sebuah kronologi oleh seorang aktor bernama Sajjan, yang dipersembahkan kepada Prithviraj untuk hadiah ulang tahun ke-60-nya. Satu punya satu kopinya.

 

* Diterjemahkan dari Zohra Segal, ‘Theatre and Activism in the 1940s’, dalam Crossing Boundaries (Geeti Sen, ed.), Orient Longman, 1997.

**Zohra Segal (1912-2014) adalah seorang aktris Bollywood.

Standar
Amitabh Bachchan, Angry Young Man, Sejarah Film India, terjemahan

Lelaki Pemalu dan Amarahnya (Bag. 3)

Oleh Mihir Bose; terj. Mahfud Ikhwan

 

Kisah Sebuah Foto dan Dengkul yang Babak Belur

Adalah saudaranya, Ajitabh, yang mendorongnya untuk mewujudkan ambisinya di dunia film. Ia mengambil foto Amitabh di luar Calcutta Victory Memorial, dan mengirimkannya ke kontes bakat Filmfare-Madhuri. Namun, setelahnya, tak ada perkembangan apa-apa, dan kehidupan Amitabh kelihatannya akan begitu-begitu saja, meneruskan serangkaian kegagalannya. Sudah begitu, orang dengan suara yang boleh jadi terbaik di Bollywood itu gagal tes sebagai penyiar di All India Radio (RRI-nya India—penerj.), baik di seksi bahasa Inggris maupun bahasa Hindi. Meski demikian, foto itu akhirnya berguna juga.

Seperti semua orang yang ingin terjun ke dunia film di Bombay pada akhir tahun ’60-an, Amitab memulainya dengan datang ke kota itu. Meskipun ia tak memanfaatkan koneksi keluarganya dengan keluarga Kapoor, ia ngenger di rumah seorang teman ayahnya. Ketika ia merasa sudah kelamaan tinggal di sana, ia sempat menghabiskan satu malam di sebuah bangku di Marine Drive (sebuah boulevard di tepian pantai Bombay—penerj.). Lalu, seperti sebuah dongeng yang indah, kesempatan dan keberuntungan dari roda kehidupan yang tengah berputar itu pun datang.

Foto yang diambil Ajitabh itu rupanya beredar di kalangan Bollywood. Sunil Dutt (seorang superstar ’60-an, ayah dari Sanjay Dutt) melihatnya, karena kebetulan istrinya, Nargis, kenal dengan ibu Amitabh dan ia ingin menolong. B.R. Copra (produser, sutradara, saudara dari Yash Chopra) pun memanggil Amitabh dari Calcutta untuk tes. Tapi masalahnya selalu adalah: ia “lumbu”, kata Hindi yang berarti tinggi, dan di Bollywood punya makna buruk. Untuk ukuran aktor India, badannya terlalu jangkung untuk bisa dipasangkan dengan lawan main perempuannya. Maka, setelah satu tes kamera, seorang produser menyarankannya untuk menulis saja. “Kamu cocoknya jadi penulis. Lagipula, kamu kan anaknya penyair terkenal. Menulis pasti gampang bagimu.”

Itu jelas-jelas nasihat baginya: jangan gampang melepas pekerjaan tetapmu, dengan gaji 2500 rupe, gaji yang sangat bagus untuk ukuran orang India, dengan mobil dan sebuah flat, meskipun kehidupan di Calcutta terasa sumpek.

Keputusasaan hampir datang. Namun, lewat seorang teman, aktris bernama Neena Singh, foto itu itu ternyata sampai ke tangan K.A. Abbas, sutradara Saat Hindustani. K.A. Abbas dikenal sebagai sutradara yang berbeda, yang punya ide-ide radikal dengan filmnya. Saat Hindustani adalah sebuah kisah patriotik tentang enam pemuda India yang hendak bergabung dengan kawan seperjuangannya untuk membebaskan Goa dari cengkeraman Portugis. Abbas mau “mengocok” tokoh-tokoh Indianya. Ia ingin seorang aktor Muslim memainkan seorang Hindu fanatik, seorang Bengali memainkan Punjabi, dan Amitabh, karena perawakan dan tinggi badannya, dirasa cocok untuk memainkan peran seorang penyair Muslim. Meski begitu, peran itu pun jatuh kepadanya setelah aktor lain, Tinnu Anand, orang yang menyerahkan foto Amitabh kepada Abbas, memilih mundur dari film dan pergi ke Calcutta untuk bekerja dengan Satyajit Ray dan akhirnya jadi seorang sutradara.

Film itu gagal. Namun, ada satu momen yang mencolok terjadi saat syuting, yang menandai lahirnya seorang aktor.

Bachchan (paling kanan, paling jangkung) dalam “Saat Hindustani”

Adegan terakhir memperlihatkan tujuh orang pejuang India yang jadi lakon tengah berebutan menaiki sebuah bukit. Badan mereka satu sama lain saling terikat tali, dengan Amitabh menjadi orang yang paling akhir. Amitabh tak mau perannya di adegan itu—termasuk di dalamnya terpeleset karena batu yang dipijaknya luruh dan kemudian menggantung di air terjun sebelum salah seorang temannya menariknya—dimainkan pemain pengganti. “Kalau pakai pemain pengganti,” Abbas mengenang, “aku harus mengambil long shot. Tapi karena ia tak mau diganti, aku bisa men-zoom-nya, dan menampilkan rasa sakit itu tepat di wajahnya.”

Setelah adegan itu diambil, Bachchan merangkak-rangkak naik dengan dengkul babak-belur. Begitu selesai, seluruh teknisi yang basah-kuyup oleh tempias air terjun, bertepuk tangan dengan gemuruh.

Meskipun menunjukkan kesungguhannya di pekerjaan yang baru digelutinya, di luar layar ia tetap seperti anak sekolahan yang budiman. Seperti semua film Abbas, film ini juga berbajet rendah. Seluruh aktor diminta untuk membawa kasur sendiri, sementara untuk menginap selama enam minggu syuting di Goa mereka disediakan sebuah aula besar untuk tidur. “Kami semua,” kata Abbas, “menyenderkan koper di dinding dan membiarkan kasur berserakan di aula. Kecuali Amitabh. Tiap malam, ia membuka koper besarnya (koper terbesar yang pernah dilihat Abbas), mengeluarkan dan menggelar kasurnya, dan memasukkannya kembali ke koper saat pagi.”

Dan ia tetaplah anak mama. Ketika di lokasi syuting ia bertemu Madhu, yang kemudian menjadi aktor terkenal di perfilman Malayalam, ia memperkenalkan dirinya sebagai putra Teji Bachchan. Madhu bertemu ibu Amitabh ketika ia kuliah di National School of Drama di Delhi dan ia juga seorang pengagum berat puisi-puisi Harivanshrai. Madhu mengenalinya saat Amitabh menghafal bait-bait sajak ayahnya sepanjang waktu, sebentuk latihan yang disebut Madhu mengasah kualitas suara Bachchan. Maka, ketika sutradara Satyajit Ray menginginkan seorang pengantar cerita di filmnya Shatranj Ke Khiladi, ia memakai suara Bachchan. Dan suara baritonnya menjadi tokoh tersendiri di film itu.

Di luar kegagalan film pertamanya tersebut, Bachchan sebenarnya sudah mulai ambil bagian. Meski begitu, tak seorang pun yang tampak ingin menjadikannya seorang bintang, apalagi megabintang. Makanya, Bachchan mengambil apapun peran yang ditawarkan kepadanya. Di dunia macam Bollywood, seseorang yang ingin menjadi hero (lakon) tak akan mau memainkan peran-peran tidak simpatik di film. Namun Bachchan memerankan tokoh jahat di Gehri Chaal dan Parwana. Di film Reshma Aur Shera, yang memperkenalkan beberapa pemain yang kelak menjadi bintang, di antaranya Vinodh Khanna dan Raakhee, Bachchan yang dijanjikan Sunil Dutt main di filmnya, kebagian peran sebagai orang bisu.

Namun, pada 1969 Bollywood memang tidak perlu (lagi) mencari bintang. The Big Three mulai menua, dan seorang anak muda muncul—dan tampaknya yakin akan mengambil alih tempat Dilip Kumar, Dev Anand, dan Raj Kapoor. Namanya Rajesh Khanna.

*Diterjemahkan dari Mihir Bose, Bollywood: A History (2006), khususnya bab 15, ‘A Shy Man and His Use of Anger’.

 

Standar
Amitabh Bachchan, Angry Young Man, Film India dan Politik, Sejarah Film India, terjemahan

Lelaki Pemalu dan Amarahnya (Bag. 2)

Oleh Mihir Bose; terj. Mahfud Ikhwan

 

Lelaki Pemalu dari Allahabad

Bagi seseorang yang akan dikenal sebagai si pemuda pemarah se-India, latar belakang Amitabh Bachchan dan masa pertumbuhannya menyumbang sangat kecil bagi munculnya amarah yang ditampilkannya di layar. Saat remaja belia ia terlalu budiman, jenis remaja India yang tak dikehendaki oleh Subhas Bose (Bapak Tentara Nasional India itu). Meski demikian, jika mengaca kepada saat kelahirannya, ia hampir-hampir akan dinamai Inquilab (revolusi). Sebabnya, ia lahir pada 11 Oktober 1942, saat India tengah giat-giatnya berada dalam gerakan Quit India, gerakan keempat dan terakhir yang digalakkan Mahatma Gandhi untuk memerdekakan India dari jajahan Inggris. Inggris menghalau gerakan itu dengan keras, dan karena itulah ayahnya, Harivanshrai Bachchan, ingin memanggil anaknya Inqilab. Namun, seorang penyair perempuan, Sumitra Nandan Pant, mengusulkan nama Amitabh, yang merupakan hasil penggabungan dua kata, Amit dan Abha, dan ia menerimanya. Banyak temannya yang masih memanggilnya Amit, yang berarti Terang yang Tak Berkesudahan.

Dilihat dari banyak segi, Amitabh Bachchan juga lahir di lingkungan yang menjadi tempat tumbuhnya kekuasaan di India segera setelah merdeka. Kota kelahirannya, Allahabad, adalah juga kota keluarga Nehru, dan kedua orangtuanya, Teji (ibunya) dan Harivanshrai (ayahnya), sama-sama nasionalis yang bersemangat. Amitabh menganggap dirinya sangat tipikal orang Allahabad, kota yang dibentuk dari campuran yang kuat antara kebudayaan Hindu dan Islam, dan sebuah kota yang sangat dipengaruhi oleh keluarga Nehru—Nirad Chaudhuri berpendapat, Nehru adalah orang yang jauh lebih dipengaruhi budaya Islam dibanding budaya Hindu.

Keluarga Bachchan juga punya hubungan baik dengan penguasa Bollywood yang tengah naik daun. Keluarga itu berkarib dengan keluarga Kapoor. Harvanshrai biasanya datang ke pertunjukan panggung Prithviraj (Kapoor), lalu di belakang panggung ia akan membacakan syair-syairnya yang disukai Prithviraj. Namun, ketika Amitabh datang ke Bombay pada 1969 untuk mencari kerja, ia tak datang ke R.K. Studios (studio milik Raj Kapoor, anak Prithviraj—penerj.). Ia berusaha dan sukses jadi bintang tanpa “klik” itu, tak seperti kebanyakan orang India lakukan.

Amitabh tumbuh di keluarga yang disebutnya bernuansa campuran Timur dan Barat. Ayahnya adalah seorang penyair, penulis, dan orang yang dihormati di kancah kesusastraan Hindi, sementara ibunya berasal dari keluarga yang disebutnya kebarat-baratan. Bapak dari ibunya disebut punya bar di London, sementara sang ibu dididik di sekolah kesusteran dan memiliki seorang pengasuh bule.

Amitabh dibesarkan dengan ketat, hal yang menjelaskan kenapa ia jadi seorang pemalu dan punya persoalan dengan hal-hal sepele, seperti masuk restoran seorang diri. Sifat pemalunya ini mengganggunya pada masa-masa awal ia masih jadi aktor yang belum terkenal. Pada suatu waktu, ia punya janji dengan aktor Manoj Kumar untuk satu pekerjaan, dan Kumar memintanya untuk datang ke Studio Filmistan, tempat ia sedang syuting. Tiap hari selama seminggu Bachchan datang ke studio itu hanya untuk celingak-celinguk kikuk di depan gerbang, tak berani masuk karena malu. Yang mengejutkan, bahkan setelah ia berstatus superstar, setelah bertahun-tahun di dunia perfilman dan melakukan berbagai program yang disiarkan secara langsung, ia masih mengaku tetap saja amat pemalu dan introvert, sifat bawaan yang sering disalahartikan sebagai lagak sombong. Boleh jadi, karena sifat malu-malunya ini, dalam wawancaranya dengan Khalid Muhammed yang direkam pada 2002, ia bahkan masih bilang: “Aku dari dulu tetaplah aktor medioker. Percaya atau tidak, di setiap film, di setiap adegan, aku ngoyo. Aku harus selalu berusaha untuk lebih peka dan lebih cemerlang. Kami benci jadi medioker.”

Keluarganya tak benar-benar kaya: Bachchan senior berpenghasilan 500 rupe sebulan. Mereka tak punya peti es atau kipas angin gantung, sehingga kalau hawa panas India Utara sedang ganas-ganasnya ibunya akan menyiram lantai rumah untuk membuat ruangan lebih sejuk. Sebelum mereka punya kipas meja reyot, sang ibu akan meletakkan es batu untuk mengatasi rasa sumuk di sore hari.

Bachchan mengingat bahwa tak banyak anggaran untuk hiburan, meskipun kedua orangtuanya jelas-jelas mengarahkan anak-anaknya untuk memperoleh hiburan yang bermanfaat. Film cinta pertama yang ditonton Bachchan adalah kisah cinta Laurel and Hardy, sementara film Hindi pertamanya adalah Jagriti (1954) karya sutradara Satyen Bose, sebuah film dengan nada nasinalisme yang kuat, yang mengingatkan kepada para pemuda-pemudi India untuk memikirkan negara dan mengenang kejayaannya. Lebih belakangan, ia memuja akting Montgomery Clift dalam A Place in The Sun, juga Marlon Brando di hampir semua filmnya, khususnya The Wild One. Ia tak akan tidur semalaman jika habis menonton Limelight-nya Charlie Chaplin, film yang musik latarnya menghantuinya dalam waktu lama.

Persahabatan keluarga itu dengan keluarga Nehru juga membuat Bachchan mendapat akses (hiburan) istimewa. Ia dan keluarganya akan diundang apabila ada pemutaran film di Rashtrapati Bhavan, Istana Negara. Di sana ia bisa menonton film Cekoslowakia, Polandia, atau film Rusia, meskipun pesan-pesan anti-perang dari film-film itu tidak cocok dengannya. Ia memang senantiasa merasa bahwa tugas sinema bukanlah untuk berkotbah, tapi menghibur.

Pada 1956, setelah menyelesaikan sekolah menengahnya di Allahabad, Bachchan berangkat ke sekolah asrama, Sherwood College, di wilayah perbukitan Nainital. Ini adalah sekolah milik misionaris yang dikepalai Pendeta R.C. Llewwllyn. Agak aneh sebenarnya keluarga Bachchan bisa menyekolahkan anaknya di sekolah asrama. Ini berkat bapaknya pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang lebih baik. Sebelumnya, sang ayah berangkat ke Inggris untuk menempuh PhD, yang disponsori oleh Nehru. Namun, ketika kembali ke kampus Allahabad University, tempat ia mengajar Sastra Inggris, ia justru mendapati gajinya dikurangi. Karena gusar, ia keluar dari pekerjaannya. Nehru kemudian memberinya pekerjaan sebagai Kepala Divisi Bahasa Hindi di Kementerian Luar Negeri (pada masa Nehru, Perdana Menteri juga menjabat sebagai Menteri Luar Negeri). Ini artinya keluarga tersebut mesti pindah ke Delhi, memperoleh penghasilan lebih baik, dan Amitabh pun bisa masuk ke sekolah asrama.

Di sekolah, ia menunjukkan kecakapan di bidang sains, sementara, meski tidak jelek, ia bosan dengan pelajaran seni. Oleh karena itu, ia bahkan bercita-cita menjadi seorang saintis. Meski begitu, ia adalah anggota aktif pementasan drama, yang dibimbing oleh orang Inggris bernama Mr. Berry. Untuk penampilannya sebagai Mayor di lakon Inspector General karya Gogol, ia memenangkan Kendall Cup, piala yang namanya mengacu kepada Geoffrey Kendall, ayah dari Jennifer (istri superstar Raj Kapoor) dan Felicity, yang memimpin rombongan teaternya berkeliling India, mementaskan drama-drama Shakespeare, terutama di sekolah-sekolah asrama. Kendall sendirilah yang memberikan piala itu kepada Amitabh. Amitabh selanjutnya mengasah bakat teaternya di Kirorimal College di Delhi lewat kelompok teaternya, “The Players”.

Walaupun memilih jalur sains, nilai akademiknya cuma di angka rata-rata. Ia hanya memperoleh izajah kelas dua ketika lulus pada 1962. Lalu ia merantau beberapa tahun di Calcutta, bekerja sebagai boxwallah, istilah India untuk menyebut orang yang bekerja mengatur agensi-agensi yang didirikan penjajah Inggris dan yang mengontrol bermacam perusahaan.

Jelas itu jauh dari awal yang cemerlang. Ia tidak lulus dengan nilai bagus, dan seperti yang kemudian dituturkannya: “Aku ambil tawaran yang kudapat, dan itu adalah divisi batubara dari rumah agensi bernama Bird and Co. Aku kerja dua tahun di sana sebelum pindah ke perusahaan bongkar-muat, Blacker dan Co.” Gajinya lebih baik, ia bisa beli mobil, sebuah Morris Minor hitam, yang kemudian ditukar yang lebih besar lagi, Standard Herald. Gaji penuh pertamanya 480 rupe, yang habis untuk membayar sewa kamar 300 rupe, kamar yang dibaginya dengan delapan orang di Russell Street, jalan utama di pusat Calcutta. Bird and Co menyediakan makan siang gratis, sementara makan malam didapat Bachchan dari sembarang tempat di pinggiran-pinggiran jalan Calcutta. “Perjalanan hidup yang biasa, sangat medioker,” katanya.

Namun, Calcutta memberinya kesempatan lebih di bidang drama amatir. Naskah-naskah Sartre, Arthur Miller, Tennese Williams, Beckett, Shakespeare, Harold Pinter, semua dipentaskan. Bachchan pernah berperan sebagai Nick di Who;s Afraid of Virginia Wolf dan menjadi Casio untuk Othello. Bosnya, David Gilani, berpikir bahwa akting Bachchan punya standar tinggi.

Meski begitu, Bachchan mesti menanggung prasangka rasial yang masih menyelimuti Calcutta pada awal ‘60-an, satu setengah dekade setelah Inggris pergi. Ia bilang, “Ada dua grup teater di sana. Ada kelompok Calcutta Dramatic Society, yang merupakan kelompok teater milik orang Inggris dan beranggotakan para bule. Kelompok lainnya adalah The Amateurs, yang isinya orang India, kebanyakan anak-anak sekolahan. Jadi, di antara dua kelompok ini adalah diskriminasi warna kulit. Di klub renang juga masing sangat sedikit orang Indianya. Beberapa di antara kami adalah orang-orang yang pertama diterima sebagai anggota. Belakangan, tentu saja sudah ada kemajuan. Diskriminasi sudah berkurang.”

 

*Diterjemahkan dari Bollywood: A History, Mihir Bose (2006), khususnya Bab 15, “A Shy Man and His Use of Anger”.

Standar
film dan agama, Film India dan Islam, Sejarah Film India, terjemahan

Islam dalam Film India (Bag. 6)

mughal

Oleh Rachel Dwyer; terj. Mahfud Ikhwan

Film Fantasi

Meskipun pada awalnya Hollywood-lah yang memulai genre film fantasi, yang seringkali berlatar Timur yang eksotik, sinema India juga didirikan di atas genre ini, yang memang sangat populer di teater Parsi. Genre jenis ini sangat disukai secara teatrikal dan memberi peluang adanya ruang bagi musik, atraksi ketangkasan, gebyar busana, kecanggihan bahasa, kehebohan gerak, dan tempik-sorak. Kisah-kisah macam itu adalah sedikit dari genre film India bercorak Islam yang berlatar di luar India, di sebuah tempat antah-berantah dan tak terpermanai indahnya, atau di sebuah negeri Islam yang dieksotikkan. The Thief of Baghdad (1924, std. Raoul Walsh, dibintangi Douglash Fairbanks, Jr.) adalah film (Hollywood) paling populer di dekade itu di India (RICC: 21), dan Keluarga Wadia, yang mengkopi kostum Fairbanks di The Mask of Zorro (1920, std. Fred Niblo) untuk penampilan Fearless Nadia, dengan senang hati menunjukkan kepada Fairbanks seantero studionya saat ia berkunjung ke India pada 1934 (Wenner 2005: 49).

Film jenis ini disebut dengan sebutan macam-macam, mulai dari film fantasi, film petualangan, hingga film 1001 Malam. Tapi, secara umum disebut sebagai film Mahomedan. Genre-genre film ini tak ada hubungannya sama sekali dengan Islam, selain bahwa ia berlatar dunia Islam, yang ditampilkan sebagai sebuah tempat yang menakjubkan, penuh petualangan, dan penuh eksotisme. Baca lebih lanjut

Standar
Amitabh Bachchan, Angry Young Man, Film India dan Politik, Sejarah Film India, terjemahan

Lelaki Pemalu dan Amarahnya: Kemunculan Amitabh Bachchan dan Lahirnya Genre Angry Young Man di Bollywood (Bag. 1)

15jan_Amitabh-Bachchan-Deewar-still

Oleh Mihir Bose; terj. Mahfud Ikhwan

Pada 15 Februari 1969, seorang seorang pemuda 27 tahun bertampang anggota gerombolan dengan tinggi badan yang tidak jamak bagi kebanyakan orang India, lebih khusus lagi bagi seorang aktor, datang ke Bombay dan memutuskan untuk masuk dunia film. Hari itu juga ia mendapatkan kesempatannya. Film tersebut jeblok, namun kesuksesan tak bisa menolaknya. Kesuksesan itu datang empat tahun kemudian bersama dengan sebuah film yang dipandang sebagai landaspacu perfilman yang baru, dan tak lama kemudian sang bintang tersebut merevolusi Bollywood. Anak muda itu adalah Amitabh Bachchan. Baca lebih lanjut

Standar
aamir khan, film, Sejarah Film India, terjemahan

Taare Zameen Pe – Bukan Sebuah Review*

kashyapOleh Anurag Kashyap; terj. Mahfud Ikhwan

Pengantar Penerjemah

Taare Zameen Par (2007) adalah salah satu film terbaik yang pernah dibuat India, jika bukan yang terbaik. Ketika film ini diajukan sebagai wakil India untuk diajukan ke Panitia Oscar sebagai film berbahasa asing terbaik dan tak lolos masuk seleksi, publik India marah dan menyalahkan Slumpdog Milionaire, film Inggris tentang anak-anak miskin India, yang tahun itu merajai penghargaan Oscar. Film ini juga dianggap sebagai kesempurnaan dari sang Mr. Perfectionist, Aamir Khan, baik sebagai aktor, produser dan kemudian sutradara. Yang tak banyak disebut adalah adanya rumor bahwa film ini sebenarnya film Amol Gupte, sang penulisnya, yang “diambil alih” oleh Aamir Khan, yang jadi produser sekaligus aktornya. Baca lebih lanjut

Standar
film india dan saya

Nana dan Saya (2): Beberapa Penebusan dan Sebuah Penemuan*

oleh Mahfud Ikhwan

cz8xvfpusaakg_v

 

Risume Bagian (1)

Saya sudah menyukainya bahkan sebelum tahu namanya.

Tak seperti kata orang Jawa bahwa rasa suka muncul dari seringnya berjumpa, saya menyukainya karena ia begitu sulit ditemui. Ia begitu misterius. Hampir selalu muncul tanpa tanda pengenal, tanpa inisial, tapi daya pukaunya luar biasa. Pertemuan dengannya selalu jadi peristiwa fenomenal dalam ingatan saya. Saya hampir selalu bisa mengingat pertemuan itu, detil-detilnya, kapan dan di mana.

Saya menemukannya Nana pertama kali pada 1997-an, dalam sebuah film di televisi yang bertahun-tahun kemudian baru saya ketahui judulnya, Agni Shaksi (1996). Ini kisah tentang seorang suami kejam yang mengejar-ngejar istrinya yang dikawin orang lain. Lalu, sedikit lebih mengenalnya, saya menontonnya kembali dalam sebuah drama politik yang sangat menempel di kepala, berjudul Angaar (1992), yang berkisah tentang pengembang muslim yang lebih memilih membunuh diri dan keluarganya dibanding menyerahkan diri kepada masyarakat miskin tergusur yang tengah mengamuk.

Lalu di era internet, saya menemukannya pada drama-drama politik macam Rajneeti (2010), yang menggambarkan kisruh politik keluarga Nehru dan parabelnya yang mirip dengan kisah Mahabarata, dan Apaharan (2006) yang menggabarkan dengan realitas yang benar-benar gamblang tentang dekatnya kehidupan politik di India dengan organisasi-organisasi kriminal di India.

Tapi, pertemuan-pertemuan itu jauh dari memuaskan, dan malah mengundang rasa penasaran. Sebagian karena film2 itu ditonton di televisi, dan kadang-kadang tidak ditonton dengan itu. Yang lain, karena saya segera tahu, masih sangat banyak film-film Nana Patekar yang lebih bagus belum saya tonton.

 

Beberapa Penebusan

Setelah sekian lama, beberapa hal yang terlewat dari Nana bisa sedikit saya tambal. Sedikit, sebab memang tetap tak banyak.

Beberapa tulisan menyebut, jika ingin tahu film Shah Rukh Khan yang ikonik, maka ia perlu menonton Raju Ban Gaya Gentleman (1992). Ya, itu memang salah satu film pertamanya Shah Rukh. Tapi, alasan kenapa film itu ingin sekali saya tonton adalah karena di film tersebut ada nama Nana Patekar. Dan, saya rasa, Raju Ban Gaya Gentleman memang layak ditonton karena Nana.

Nana berperan menjadi Jai, seorang gelandangan sinis tapi ramah yang sekaligus seorang “pembual” yang menjual omongannya di jalanan Mumbai. Ia yang pertama kali memberi makan dan tempat bagi Raju (Shah Rukh Khan), seorang insinyur lulusan Darjeeling yang baru pertama kalinya ke Mumbai. Tapi bahkan sebelum itu, Jai jugalah yang sejak awal mengingatkan bahwa Mumbai tak akan memberi kesempatan kepada seorang pengecut dan bahwa kota itu penuh dengan kebohongan.

Dalam kisah insinyur desa yang mencoba bertahan dari kebobrokan moral kota besar ini, Jai adalah suara hati Raju. Ia orang yang pertama bernyanyi ketika Raju akhirnya jadi “orang” (gentleman). Ia juga yang sangat awal tahu bahwa Raju telah tertelan bulat-bulat oleh keserakahan Mumbai. Tapi bagi film pertama seorang calon superstar, yang untuk banyak hal mudah dilupakan, Jai yang diperankan Nana adalah seorang penyelamat.

Selalu ada sinar terang dari wajah Nana yang gelap itu di tiap frame yang menampilkan Jai. Ia tersenyum kecil, mencibir, merengut, meraung, semuanya pantas, semua meninggalkan bekas. Tapi, terutama, nikmatilah tiga monolog Jai di film ini, ketika ia “membual” kepada kerumunan di jalan-jalan di Mumbai tentang betapa tak bergunanya pendidikan, betapa konyolnya jatuh cinta, dan betapa mudahnya orang menjadi anjing penurut di bawah uang dan kedudukan.

Lalu Shakti: The Power (2002). Film yang selalu disebut-sebut jika membicarakan keaktoran Nana itu akhirnya tertonton juga. Bercerita tentang seorang perempuan India berkebangsaan Kanada yang melarikan diri dari lingkaran kekerasan keluarga almarhum suaminya, film ini sebenarnya milik si bintang perempuannya, Karisma Kapoor. Dan Karisma memang berhak untuk itu oleh karena permainan bagusnya. Film ini boleh juga jadi pengingat bahwa Shah Rukh Khan, dalam penampilannya yang pendek, bisa juga berakting. Tapi tentu saja Nana adalah rajanya.

Nana menjadi Narasimha, seorang kepala suku, yang tak membiarkan menantu yang dibencinya membawa pergi cucu laki-lakinya. Ia memuja kejantanan dengan cara mengerikan. Semua persoalan diselesaikan dengan tamparan dan bentakan. Semua urusan harus dituntaskan dengan bedil dan parang. Ia menendang istrinya, menampar dan menjambak menantunya, dan menyeret paksa cucunya yang masih kecil. Tapi ia tampak mengerikan bahkan saat tersenyum, tertawa-tawa dengan anak buahnya, atau bahkan saat mencoba bersikap ramah terhadap cucunya. Saya bahkan tak bisa menghilangkan bayangan buruk dari caranya jongkok dan mengibaskan tangan sampai bertahun-tahun setelah menontonnya, dan karena itu juga tak bisa tidak untuk semakin mencintainya. “Jao, jao!” katanya, saat pada akhirnya membiarkan menantu dan cucunya pergi.

Setelah beberapa kali mencicilnya, Khamoshi: The Musical (1996) selesai juga ditonton. Ya, saya mencicilnya dalam arti sebenar-benarnya. Film indah dengan latar Goa, lengkap dengan pantai dan suasana Kristianinya yang syahdu, yang semua lagunya saya hapal ini, belum pernah saya temukan di televisi, meskipun beberapa teman bercerita pernah menontonnya beberapa kali. Dan saya juga tak kunjung menemukannya bahkan setelah bertahun-tahun mencarinya, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk file. Ketika kemudian Youtube jadi tempat mencari semua hal yang tak ditemukan dalam kehidupan nyata, saya juga mencarinya ke sana. Dan ketemu. Lengkap dengan subtitle yang jelas. Tapi menontonnya adalah hal lain.

Tak pernah dikaruniai pulsa yang cukup dan kecepatan akses yang memadai, saya membutuhkan waktu yang tepat untuk berani menontonnya secara online. Ketika kemudian keinginan itu menjadi sangat menggebu, usaha menonton itu gagal oleh tanda lingkaran yang berputar tak henti-henti di tengah video. Lalu coba lagi. Kali ini dengan keyakinan bahwa sinyal cukup kuat dan pulsa masih cukup banyak. Dan karena itu, saya ajak teman menonton bersama, lengkap dengan penyorot layar. Namun, belum setengah jam film berlangsung, gambar bergerak itu berhenti sama sekali. Pulsa habis. Penonton bubar. Dongkol, film itu baru saya selesaikan berbulan-bulan kemudian.

Khamoshi adalah debut sutradara Sanjai Leela Bhansali, yang hanya beberapa tahun kemudian telah menjadi salah satu sutradara terpenting dan tentu saja terbaik di Bollywood. Film ini dimainkan oleh sepasang bintang yang sedang laris-larisnya, Salman Khan dan Manisha Koirala. Tapi, tak bisa tidak, ini adalah filmnya Nana.

Dibanding kisah tentang pasangan yang dipertemukan oleh musik, Annie (Koirala) dan Raj (Khan), Khamoshi (yang berarti “hening”) adalah kisah tentang kebisuan yang melingkupi Joseph Braganza (Patekar) dan keluarganya. Joseph dan Flavia (Seema Biswas) adalah pasangan bisu-tuli yang bahagia ketika mendapat dua anak yang normal, Annie dan Sam. Keluarga itu begitu semarak oleh bunyi dan musik ketika Annie menunjukkan bakat dan kecintaan yang sangat kepada musik. Mereka juga keluarga Katolik yang taat. Tapi semua segera berubah ketika Sam meninggal dalam sebuah kecelakaan. Joseph marah kepada Tuhan, dan untuk selanjutnya membenci musik. Dan kisah selanjutnya adalah bagaimana Annie (yang dibantu Raj) mengembalikan musik, kegembiraan, kemudian “Sam”, dan pada akhirnya Tuhan, ke rumah keluarga Braganza.

Video lagu terbaik di film itu, “Bahon Ke Darmiyan”, mungkin sudah saya tonton ratusan kali (Manisha Koirala tampak sangat cantik tapi sekaligus rapuh di pikturisasi lagu itu). Tapi tak saya ragukan, adegan terbaik di film ini adalah ketika Joseph meraung melihat anak laki-lakinya jatuh dari menara gereja, mengibaskan tangannya ke langit, dan kemudian dengan telanjang dada berlari memanggul salib besar di rumahnya, membawanya ke pantai, dan mencemplungkannya ke laut. Saya tak tahu pada bagian mana saya menangis dan kemudian tertawa, tapi saya merasakan kedua-duanya saat melihat adegan itu. Meski begitu, jangan lewatkan pidato tujuh menitnya dalam kebisuan pada pembaptisan cucunya.

 

Natsamrat: Sebuah Penemuan Besar

Ketika menulis bagian ini, saya juga baru saja menyelesaikan menonton Taxi No. 9211 (2006) di Youtube, dan sangat ingin berbagi pengalaman, betapa malangnya saya yang baru bisa nonton film ini meskipun pernah membeli kepingan DVD-nya nyaris 10 tahun lalu; ini film sangat bagus, dan sungguh beruntung John Abraham, aktor dengan tubuh berpunuk seperti sapi itu, pernah dipasangkan dengan Nana dan itu membuatnya—setidaknya—pernah bermain lumayan baik. Tapi, saya jauh lebih ingin membicarakan Natsamrat (2016), temuan besar dan terbaik saya tahun ini.

Natsamrat bercerita tentang Ganpat Belwalkar, seorang bekas aktor hebat yang memperoleh julukan Raja Panggung (natsamrat), yang menjadi gelandangan setelah dicampakkan oleh anak-anak yang mewarisi hartanya. Diangkat dari lakon teater berjudul sama yang ditulis Kusumagraj, yang telah dipentaskan sejak 1970, Natsamrat menghubungkan diri dengan tradisi teater Maharashtra yang sangat dipengaruhi lakon-lakon Barat, terutama lakon-lakon Shakespearean. Tapi, pada saat yang sama, film ini “sangat India” karena aroma drama keluarganya yang kuat—aroma yang melahirkan ribuan judul film pertahun dan telaga air mata di seluruh dunia. Dan ini memberi pengalaman menonton yang unik.

(Perlu diketahui, Natsamrat memang bukan film Bollywood, tapi film Marathi. Meskipun sama-sama berbasis di Mumbai, kedua jenis produksi sinema ini berbeda di bahasa dan orientasi; Bollywood dengan bahasa Hindi dan orientasi uangnya, sementara sinema Marathi memakai bahasa Marathi dan lebih berorientasi seni—meskipun perlu dicatat bahwa dari sinema Marathi-lah Bollywood dimulai.)

Nana tentu saja menjadi Ganpat, aktor kawakan yang jadi gelandangan. Dan itu membuat kita akan dimanjakan oleh banyak monolog, gumaman-gumaman larik-larik dialog dari Beckett, Ibsen, hingga lakon Mahabarata, dari mulut Nana, tapi terutama dari naskah-naskah tenar Shakespeare. Tapi bukan hanya itu. Sebab di Natsamrat Nana bukanlah penjahat bermuka dingin atau seorang pencinta atau suami yang obsesif, atau peran-peran stereotipe di kebanyakan film-film Bollywood yang dimainkan sebelumnya. Bukan cuma aktor kawakan yang kemudian jatuh, Ganpat adalah suami yang cengengesan tapi mesra, ayah yang terlalu mencintai anak-anaknya dan kemudian kecewa, kakek yang direnggutkan dari cucu kesayangannya, sekaligus sahabat yang merasa berdosa. Itu pemandangan langka.

Yang lebih langka, di film ini, tak seperti di kebanyakan film Bollywood-nya yang biasanya single fighter, nyaris sendirian memanggul beban film-filmnya, Nana punya sekondan yang sepadan pada diri Medha Manjrekar (berperan sebagai Kaveri alias Sarkar, istri Ganpat) dan Vikram Gokhale (sebagai Rambhau, sahabat dan sejawat aktornya). Frame-frame yang menampilkan Nana dan Manjrekar, dengan obrolan soal anak-anak mereka dan cinta yang tanpa syarat di masa tua, selalu membuat mata merembang—entah karena ikut bahagia, turut terharu, atau karena merasa sama sekali hancur. Dan itu hanya terjadi karena akting yang mumpuni.

Tapi yang paling mahal dalam Natsamrat tentu adalah melihat bertandingan akting dua aktor hebat pemenang Penghargaan Film Nasional untuk Aktor Terbaik, Nana dan Gokhale. Digambarkan sebagai dua aktor panggung yang bersahabat tapi sekaligus bersaing, Ganpat dan Rambhau selalu terlibat saling ejek, saling membongkar aib, saling tempeleng di depan istri masing-masing, sebelum saling berbisik untuk curi-curi minum di halaman belakang, atau saling memeluk ketika salah satu sedang terpuruk. Tapi yang paling tak bisa saya lupakan adalah dialog antara Rambhau dan Ganpat di bangsal rumahsakit.

Rambhau tengah terbaring sakit dan sedang bosan hidup setelah kematian istrinya, sementara Ganpat menyuapinya makan dengan rasa sayang sekaligus rasa bersalah. Tiba-tiba saja, Rambhau mengubah nada suaranya, menjadikan dirinya Karna yang tengah sekarat dan sedang menggugat takdirnya. Seluruh perawat terkejut, demikian juga Ganpat. Tapi, segera tahu apa yang mesti dilakukan, Ganpat segera malih rupa jadi Krishna yang bijak, dan mengingatkan kepada ksatria tertua Pandawa bahwa ia mesti memenuhi darmanya.

Sesudahnya, Anda hanya bisa memilih: jatuh dan berurai air mata atau bertepuk tangan, atau melakukan keduanya secara bersamaan.

 

Kerinduan yang Tak jua Terbayar

Peran Nana di Apaharan memperlihatkan dengan gamblang alasan kenapa Nana selalu saya rindukan.

Dia secara jelas memberi dimensi berbeda pada perfilman India. Perlu ada sosok antara yang bisa merukunkan karakter-karakter rata macam Inspektur Vijay dan Tuan Takur. Dan itu adalah karakter-karakter abu-abu yang banyak dimainkan Nana. Perlu ada kisah berbeda yang menyelingi cerita-cerita cinta berakhir bahagia ala Karan Johar. Dan itu adalah cerita-cerita di mana Nana bermain.

Tapi, dengan apa yang ditunjukkannya di Khamoshi dan terutama di Natsamrat, tak perlu ada penjelasan yang lebih panjang kenapa sinema India, lebih-lebih Bollywood, sangat membutuhkannya.

Dalam pada itu, secara bersamaan, menyaksikan Nana kembali selalu saja menimbulkan rasa sakit. Sebab, hal itu akan mengingatkan betapa saya merindukan kembali menonton Agni Sakshi, melengkapi menonton Angaar, melihat lebih utuh Kohram, Wajood, Krantiveer, Yeshwant, Hu Tu Tu, Yatra, dan film-film Nana lain yang saya lewatkan. Juga, karena saya tahu, tak seperti Shah Rukh atau Hrithik atau Salman, Nana selalu saja lebih sulit ditemukan.

Hal macam itu menimbulkan perasan serupa orang yang berjumpa orang tercinta namun hanya untuk berpisah lagi. Dalam keadaan seperti itu, rindu jadi tak pernah terbayar dengan sempurna.

Ah, Nana.

 

*merupakan spinn-off dari tulisan lama “Nana dan Saya”

Standar