Oleh Mihir Bose; Terj. Mahfud Ikhwan
Sholay, Deewar, Amar Akbar Anthony…
Sebagai sebuah film, Sholay memecahkan semua rekor: film ini diputar tanpa putus selama 286 minggu di Bioskop Minerva Bombai. Pada Filmfare Award ke-50, Sholay diakui sebagai film terbaik dalam 50 tahun, lalu ditahbiskan sebagai “Film of the Millenium” oleh BBC India lewat polling internet pada 1999. Ia juga jadi film dengan penghasilan tertinggi sepanjang masa, dengan mengumpulkan Rs. 2.134.500.000 (atau 50 juta dolar AS), sebuah rekor yang bertahan hingga 1994, sampai Hum Apke Hain Kaun mematahkannya. Sholay secara luas diakui oleh para kritikus film sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat Bollywood dan paling banyak ditonton, sekaligus merevolusi perfilman Hindi—menjadikan penulisan-naskah jadi pekerjaan yang benar-benar profesional. Sholay adalah film film Hindi (dan boleh jadi film India) pertama yang memiliki soundtrack stereofonik. Sutradara Shekhar Kapur pernah bilang, “Tak ada yang pernah bisa lebih mendefinisikan film di layar lebar India (melebihi Sholay). Industri film India dapat dipilah menjadi dua, yaitu Sebelum Sholay dan Sesudah Sholay.”
Dialog di film itu sangat dikenal, sementara beberapa baris paling dramatis biasa digunakan oleh orang-orang India dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana dialog dari The Godfather pertama, yang dibintangi Marlon Brando, biasa ditirukan oleh orang Barat. Film ini lazim dipakai untuk menjual semua jenis barang, mulai dari biskuit gandum sampai sirup obat batuk. Calo tiket gelap di Delhi bisa mendapat banyak uang dan bisa membangun rumah dari keuntungan yang didapatnya; dokar di kota-kota macam Patna dinamai Dhanno, si kuda yang ada di film; lalu, seorang aktor yang hanya bicara satu kata namun melakukan adegan dramatis, yaitu sebagai seseorang yang berdiri di atas bukit sambil memegang bedil, segera dikenali oleh petugas imigrasi New York saat ia melambaikan tangan.
Butuh dua tahun untuk membuat film ini, sementara para aktor dan aktris yang ikut andil di dalamnya punya agenda masing-masing, menyimpan cerita lain yang berlawanan dengan cerita yang sedang berusaha mereka buat, dengan satu pasangan ingin merengkuh cinta yang terlarang, pasangan lainnya malah menikah saat film dibuat, sementara pihak ketika, yang gagal mendapatkan cintanya, memilih minuman dan kemudian pelan-pelan terbuang dari percaturan.
Pembuatan film itu sendiri, dan variasi plot dan kontra plot di antara para pemainnya, tampaknya pantas untuk dibuat film sendiri. Lalu, beberapa tahun kemudian, Anupama Chopra akan menulis salah satu buku terbaik tentang kebangkitan sinema India: Sholay: The Making of a Clasic. Film tersebut, dan orang-orang yang terlibat membuatnya, dengan cara masing-masing merefleksikan kehidupan India kontemporer.
Tahun rilisnya Sholay juga menjadi tahun rilisnya film Amitabh lainnya: Deewar. Sementara Sholay menangguk semua sukses komersial, Deewar melahap semua penghargaan terhormat Filmfare Award tahun itu. Dua tahun kemudian muncullah Amar Akbar Anthony yang segera menjadi film cult hebat. Dua sutradara yang bekerja dengan Amitabh (di dua film terakhir) sama sekali berbeda dengan Ramesh Sippy, sutradara Sholay. Namun, kedua orang itu juga benar-benar berbeda satu sama lain.
Deewar disutradarai Yash Chopra yang saat itu sudah tak lagi dikenal sebagai adik dari B.R. Chopra. Lagi pula, setelah lama hidup bersama sebagai keluarga yang rukun, kakak-adik itu berpisah karena pertengkaran pelik yang disebabkan perkara sepele, sebagaimana dituturkan oleh penulis biografi Yash Chopra sendiri. Amar Akbar Anthony, sementara itu, disutradarai Manmohan Desai, yang seperti api dan air dengan Chopra.
Yash Copra membangun reputasinya di Bollywood sebagai seorang sutradara yang menemukan dirinya kembali di tiap dekade. Meskipun Chopra nantinya dikenal sebagai “raja film romantis”, ia juga membuat film yang dikenal sebagai triller klasik, atau drama menye-menye. Sejak umur tigabelas dibesarkan oleh B.R., kakaknya yang delapanbelas tahun lebih tua, Yash menunjukkan gayanya tersendiri sejak pertama kali menangani film B.R. yang dipercayakan kepadanya, Dhool Ka Phool. Ini adalah kisah tentang perempuan yang dikhianati kekasihnya dan oleh takdir karena mesti mengandung anak tidak sah. Dalam Dharmputra, Yash Chopra mengangkat kisah seorang Muslim yang dibesarkan di keluarga Hindu terpandang yang, karena tidak tahu asal-usulnya, menjadi seorang Hindu fanatik. Pada Ittefaq, film perintis lain, sebuah triller tanpa lagu, menceritakan seorang lelaki yang dituduh membunuh istrinya dan perempuan lain yang memberinya tumpangan.
Namun Deewar dan asosiasinya dengan Amitabh Bachchanlah yang yang menandai periode paling suksesnya. Bachchan boleh jadi menabalkan cap dirinya sebagai angry young man dengan film Zanjeer, namun Deewar adalah titik berangkatnya. Seperti kebanyakan film Bollywood, kisahnya banyak mengambil dari Mother India, meskipun ada beberapa film yang tidak melakukannya. Bagaimanapun, film ini mematahkan banyak aturan tak tertulis yang sudah sangat lama mapan di Bollywood.
Deewar hanya punya dua lagu, yaitu sebuah qawwali dan satu lagu titel; jagoannya membelot jadi penjahat; tak ada tokoh gadis suci, hanya sebuah peran kecil untuk jagoan perempuannya, dan sedikit cinta-cintaan; si bapak yang menghilang akhirnya mati sia-sia tanpa mengubah adegan akhir yang menggambarkan reuni keluarga (hal yang khas Bollywood); lalu, si jagoan mati di tangan saudaranya sendiri.
Di Mother India, sang ibu membunuh anaknya; di Deewar, Vijay, si anak berperangai buruk yang dimainkan Bachchan, dibunuh oleh saudaranya, Ravi, yang dimainkan Shashi Kapoor. Klimaks cerita melibatkan tembak-tembakan, dan Vijay akhirnya mati di pangkuan ibunya di depan sebuah kuil.
Keterlibatan Bachchan di Deewar dimulai dengan cara tradisional. Ia sedang syuting film lain ketika penulis naskah, Salim-Javed, menceritakan kisahnya kepada Bachchan. “Kami sepakat bahwa Yash Chopra akan cocok untuk menyutradarainya. Salim-Javed dan aku pergi bertemu dengan Yashji di Girnat Apartments di Pali Hill, tempat ia saat itu tinggal,” kata Bachchan.
Bagi Bachchan, Deewar adalah film yang kejam dan tanpa-ampun. “Di situ tak ada syuting ulang, tak ada pengambilan gambar canggih untuk memberi highlight beberapa adegan laga yang menakjubkan, dan tak ada perlengkapan pelindung bagi keselamatan pemain (sebab saat itu memang belum ada). Para pemeran pengganti dan para artis kesakitan dalam diam. Hal yang paling menarik justru terjadi di belakang kamera, di mana Yash Chopra yang sangat larut dan bersemangat tak henti-hentinya membelasah asistennya setiap ia berteriak ‘Eksyen!’”
Adalah Manmohan Desai sendiri yang menarasikan cerita Amar Akbar Anthony kepada Bachchan. Tapi, tak seperti Deewar yang langsung menawan hatinya, ia tak percaya dengan cerita film itu. “Ketika Manmohan Desai menceritakan isi cerita Amar Akbar Anthony di Lapangan Mangal pada suatu malam, aku dibikin gusar. Aku tak pernah lihat atau dengar ada orang macam Anthony. Aku tertawa terpingkal-pingkal. ‘Man (demikian teman-temannya memanggilnya), kau ini habis nonton film apa?’ Ia langsung menukas, ‘Dengar, Bung! Begitu film ini rilis, orang-orang di jalanan akan memanggilmu Anthonybhai’. Dan ia sungguh benar. Sepanjang pembuatan AAA, isinya cuma ketawa melulu. Ketika aku menghela kuda mungil itu, Tonga, menyapu lantai untuk masuk ke adegan berikutnya, itu semua usaha banyak orang. Banyak senangnya, banyak gembiranya… casting aktor yang hebat… dan ‘Man’ membimbing kami semua. Bahkan adegan paling konyol sekalipun direncanakan dengan teliti.”
Kisah Amar Akbar Anthony adalah salah satu cerita klasik satunya budaya India, meskipun berbeda-beda agama. Ceritanya, seorang ayah yang sedang kesusahan menelantarkan tiga anaknya. Anak yang pertama, Amar, tetap menjadi Hindu; anak kedua, Akbar, menjadi seorang Muslim; sementara anak ketiga mendapati dirinya ada di dalam gereja, kemudian menjadi Anthony, yang dimainkan Amitabh. Kisah penelantaran anak adalah sajian utama Bollywood, namun belum ada yang melakukan dengan cara macam itu, dengan simbolisme seperti itu. Dalam film, keluarga itu tercerai-berai pada 15 Agustus, persis seperti yang dialami India pada 1947 (saat mengalami Partisi—penerj.). Meski dibesarkan dengan agama yang berbeda-beda, film ini menggemakan bahwa mereka semua bersaudara. Kredit pembuka disertai dengan kutipan, “Khoon khoon hotaa hai paani nahin” (Darah adalah darah, bukan air). Lewat penggambaran keluarga yang akhirnya bersatu, pesannya adalah: persatuan dan kesatuan seluruh India setelah melewati penderitaan akan kehilangan dan kepedihan.
Setelahnya, Manmohan Desai adalah seorang pembuat tren di industri film. Film-filmnya kebanyakan beradegan luar ruangan, atau ruangan studio yang sudah direkayasa agar terlihat seperti di luar ruangan, di mana kehidupan sehari-hari bisa bisa berubah jadi khayalan. Seperti yang belakangan dibilang Bachchan, “Film-film Manmohan Desai bisa dideskripsikan sebagai ‘fanatisasi’ ekspresi idealisme romantik… cinta, kehormatan, perpisahan, keteguhan, dan penyatuan kembali yang menjadi obsesi abadi… sementara secara bersamaan juga senantiasa mengandung elemen kunci tentang ketakjuban… Mengenal Manmohan Desai adalah mengenal manusia penuh kasih.” Pada intinya, ia mengadopsi formula yang akrab dengan Bollywood.
Dari duapuluh film yang disutradarainya dalam duapuluh sembilan tahun karirnya (antara 1960 hingga 1988), tigabelas di antaranya adalah film dengan hit besar. Dari 1973 hingga 1981, ia menciptakan sukses di box office, dengan Amitabh Bachchan menjadi pusat pusarannya.
Manmohan Desai, nama yang berarti ‘pemukau pikiran’, adalah seorang putra Bollywood, namun dengan gaya dan kisah hidup yang sedikit berbeda. Cerita pernikahannya menyimpang dari naskah film-film Bollywood. Jeevan Prabha Gandhi, seorang gadis Marathi, adalah gadis yang tinggal di seberang jalan (dari rumah Manmohan) yang tersenyum dari jendelanya. Meskipun secara teknis ia seorang imigran, pindah bersama keluarga Gujaratinya pada usia empat tahun, Manmohan selalu memandang Bombay sebagai kota kelahirannya, dan ia tumbuh bersama tumbuhnya film.
Ayahnya, Kikubhai Desai, adalah pemilik Paramount Studios, tempat ia memproduksi tigapuluh dua film antara 1931 hingga 1941, sebagian besar adalah film eksyen. Kikubhai meninggal pada usia tigapuluh sembilan akibat infeksi usus buntu karena saat itu belum ada penicilin, yang ironisnya ditemukan sebulan setelah kematiannya. Kematian Kikubhai meninggalkan banyak hutang bagi keluarganya. Kalavati, sang istri, terpaksa menjual bungalow milik keluarga dan sejumlah mobil untuk menunjang kehidupan keluarganya, sekaligus sekuat tenaga mempertahankan studio peninggalan suaminya yang memberi pemasukan bulanan sebesar 500 rupee bagi keluarga yang hidup dalam rumah empat kamar itu.
Manmohan memperoleh pengalaman pertamanya dengan film ketika saudaranya mulai bekerja kepada Homi Wadia. Sang saudara kemudian menjadi sutradara. Pada 1960, ia memberikan kesempatan kepada Manmohan yang saat itu berusia duapuluh empat untuk menyutradari film pertamanya, Chhalia.
Manmohan sangat jarang membiarkan sesuatu terjadi secara kebetulan. Seperti dikatakan Bachchan, “Satu-satunya adegan yang dilakukan secara spontan dalam film Amar Akbar Anthony adalah adegan mabukku. Ia saat itu tidak berada di lokasi syuting. Ia menyerahkannya kepada asistennya… Aku bilang kepada asistennya bahwa aku akan melakukan adegan mabuk berdasar observasiku kepada seseorang yang mabuk berat di Park Street Kalkuta… karena kalau lihat dua atau tiga orang akan terlalu banyak.”
Diukur dari berbagai segi, hal paling tak terduga yang terjadi dalam kehidupannya adalah kematiannya. Pada 1 Maret 1994, Manmohan Desai jatuh dari loteng rumahnya di Khetwadi, di pusat kota Bombay, yang membuatnya meninggal seketika. Usianya limapuluh tujuh. Tak pernah ada penjelasan apapun kenapa ia mesti merenggut nyawanya sendiri.
*Diterjemahkan dari Mihir Bose, Bollywood: A History (2006).