film india dan saya

Nana dan Saya (2): Beberapa Penebusan dan Sebuah Penemuan*

oleh Mahfud Ikhwan

cz8xvfpusaakg_v

 

Risume Bagian (1)

Saya sudah menyukainya bahkan sebelum tahu namanya.

Tak seperti kata orang Jawa bahwa rasa suka muncul dari seringnya berjumpa, saya menyukainya karena ia begitu sulit ditemui. Ia begitu misterius. Hampir selalu muncul tanpa tanda pengenal, tanpa inisial, tapi daya pukaunya luar biasa. Pertemuan dengannya selalu jadi peristiwa fenomenal dalam ingatan saya. Saya hampir selalu bisa mengingat pertemuan itu, detil-detilnya, kapan dan di mana.

Saya menemukannya Nana pertama kali pada 1997-an, dalam sebuah film di televisi yang bertahun-tahun kemudian baru saya ketahui judulnya, Agni Shaksi (1996). Ini kisah tentang seorang suami kejam yang mengejar-ngejar istrinya yang dikawin orang lain. Lalu, sedikit lebih mengenalnya, saya menontonnya kembali dalam sebuah drama politik yang sangat menempel di kepala, berjudul Angaar (1992), yang berkisah tentang pengembang muslim yang lebih memilih membunuh diri dan keluarganya dibanding menyerahkan diri kepada masyarakat miskin tergusur yang tengah mengamuk.

Lalu di era internet, saya menemukannya pada drama-drama politik macam Rajneeti (2010), yang menggambarkan kisruh politik keluarga Nehru dan parabelnya yang mirip dengan kisah Mahabarata, dan Apaharan (2006) yang menggabarkan dengan realitas yang benar-benar gamblang tentang dekatnya kehidupan politik di India dengan organisasi-organisasi kriminal di India.

Tapi, pertemuan-pertemuan itu jauh dari memuaskan, dan malah mengundang rasa penasaran. Sebagian karena film2 itu ditonton di televisi, dan kadang-kadang tidak ditonton dengan itu. Yang lain, karena saya segera tahu, masih sangat banyak film-film Nana Patekar yang lebih bagus belum saya tonton.

 

Beberapa Penebusan

Setelah sekian lama, beberapa hal yang terlewat dari Nana bisa sedikit saya tambal. Sedikit, sebab memang tetap tak banyak.

Beberapa tulisan menyebut, jika ingin tahu film Shah Rukh Khan yang ikonik, maka ia perlu menonton Raju Ban Gaya Gentleman (1992). Ya, itu memang salah satu film pertamanya Shah Rukh. Tapi, alasan kenapa film itu ingin sekali saya tonton adalah karena di film tersebut ada nama Nana Patekar. Dan, saya rasa, Raju Ban Gaya Gentleman memang layak ditonton karena Nana.

Nana berperan menjadi Jai, seorang gelandangan sinis tapi ramah yang sekaligus seorang “pembual” yang menjual omongannya di jalanan Mumbai. Ia yang pertama kali memberi makan dan tempat bagi Raju (Shah Rukh Khan), seorang insinyur lulusan Darjeeling yang baru pertama kalinya ke Mumbai. Tapi bahkan sebelum itu, Jai jugalah yang sejak awal mengingatkan bahwa Mumbai tak akan memberi kesempatan kepada seorang pengecut dan bahwa kota itu penuh dengan kebohongan.

Dalam kisah insinyur desa yang mencoba bertahan dari kebobrokan moral kota besar ini, Jai adalah suara hati Raju. Ia orang yang pertama bernyanyi ketika Raju akhirnya jadi “orang” (gentleman). Ia juga yang sangat awal tahu bahwa Raju telah tertelan bulat-bulat oleh keserakahan Mumbai. Tapi bagi film pertama seorang calon superstar, yang untuk banyak hal mudah dilupakan, Jai yang diperankan Nana adalah seorang penyelamat.

Selalu ada sinar terang dari wajah Nana yang gelap itu di tiap frame yang menampilkan Jai. Ia tersenyum kecil, mencibir, merengut, meraung, semuanya pantas, semua meninggalkan bekas. Tapi, terutama, nikmatilah tiga monolog Jai di film ini, ketika ia “membual” kepada kerumunan di jalan-jalan di Mumbai tentang betapa tak bergunanya pendidikan, betapa konyolnya jatuh cinta, dan betapa mudahnya orang menjadi anjing penurut di bawah uang dan kedudukan.

Lalu Shakti: The Power (2002). Film yang selalu disebut-sebut jika membicarakan keaktoran Nana itu akhirnya tertonton juga. Bercerita tentang seorang perempuan India berkebangsaan Kanada yang melarikan diri dari lingkaran kekerasan keluarga almarhum suaminya, film ini sebenarnya milik si bintang perempuannya, Karisma Kapoor. Dan Karisma memang berhak untuk itu oleh karena permainan bagusnya. Film ini boleh juga jadi pengingat bahwa Shah Rukh Khan, dalam penampilannya yang pendek, bisa juga berakting. Tapi tentu saja Nana adalah rajanya.

Nana menjadi Narasimha, seorang kepala suku, yang tak membiarkan menantu yang dibencinya membawa pergi cucu laki-lakinya. Ia memuja kejantanan dengan cara mengerikan. Semua persoalan diselesaikan dengan tamparan dan bentakan. Semua urusan harus dituntaskan dengan bedil dan parang. Ia menendang istrinya, menampar dan menjambak menantunya, dan menyeret paksa cucunya yang masih kecil. Tapi ia tampak mengerikan bahkan saat tersenyum, tertawa-tawa dengan anak buahnya, atau bahkan saat mencoba bersikap ramah terhadap cucunya. Saya bahkan tak bisa menghilangkan bayangan buruk dari caranya jongkok dan mengibaskan tangan sampai bertahun-tahun setelah menontonnya, dan karena itu juga tak bisa tidak untuk semakin mencintainya. “Jao, jao!” katanya, saat pada akhirnya membiarkan menantu dan cucunya pergi.

Setelah beberapa kali mencicilnya, Khamoshi: The Musical (1996) selesai juga ditonton. Ya, saya mencicilnya dalam arti sebenar-benarnya. Film indah dengan latar Goa, lengkap dengan pantai dan suasana Kristianinya yang syahdu, yang semua lagunya saya hapal ini, belum pernah saya temukan di televisi, meskipun beberapa teman bercerita pernah menontonnya beberapa kali. Dan saya juga tak kunjung menemukannya bahkan setelah bertahun-tahun mencarinya, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk file. Ketika kemudian Youtube jadi tempat mencari semua hal yang tak ditemukan dalam kehidupan nyata, saya juga mencarinya ke sana. Dan ketemu. Lengkap dengan subtitle yang jelas. Tapi menontonnya adalah hal lain.

Tak pernah dikaruniai pulsa yang cukup dan kecepatan akses yang memadai, saya membutuhkan waktu yang tepat untuk berani menontonnya secara online. Ketika kemudian keinginan itu menjadi sangat menggebu, usaha menonton itu gagal oleh tanda lingkaran yang berputar tak henti-henti di tengah video. Lalu coba lagi. Kali ini dengan keyakinan bahwa sinyal cukup kuat dan pulsa masih cukup banyak. Dan karena itu, saya ajak teman menonton bersama, lengkap dengan penyorot layar. Namun, belum setengah jam film berlangsung, gambar bergerak itu berhenti sama sekali. Pulsa habis. Penonton bubar. Dongkol, film itu baru saya selesaikan berbulan-bulan kemudian.

Khamoshi adalah debut sutradara Sanjai Leela Bhansali, yang hanya beberapa tahun kemudian telah menjadi salah satu sutradara terpenting dan tentu saja terbaik di Bollywood. Film ini dimainkan oleh sepasang bintang yang sedang laris-larisnya, Salman Khan dan Manisha Koirala. Tapi, tak bisa tidak, ini adalah filmnya Nana.

Dibanding kisah tentang pasangan yang dipertemukan oleh musik, Annie (Koirala) dan Raj (Khan), Khamoshi (yang berarti “hening”) adalah kisah tentang kebisuan yang melingkupi Joseph Braganza (Patekar) dan keluarganya. Joseph dan Flavia (Seema Biswas) adalah pasangan bisu-tuli yang bahagia ketika mendapat dua anak yang normal, Annie dan Sam. Keluarga itu begitu semarak oleh bunyi dan musik ketika Annie menunjukkan bakat dan kecintaan yang sangat kepada musik. Mereka juga keluarga Katolik yang taat. Tapi semua segera berubah ketika Sam meninggal dalam sebuah kecelakaan. Joseph marah kepada Tuhan, dan untuk selanjutnya membenci musik. Dan kisah selanjutnya adalah bagaimana Annie (yang dibantu Raj) mengembalikan musik, kegembiraan, kemudian “Sam”, dan pada akhirnya Tuhan, ke rumah keluarga Braganza.

Video lagu terbaik di film itu, “Bahon Ke Darmiyan”, mungkin sudah saya tonton ratusan kali (Manisha Koirala tampak sangat cantik tapi sekaligus rapuh di pikturisasi lagu itu). Tapi tak saya ragukan, adegan terbaik di film ini adalah ketika Joseph meraung melihat anak laki-lakinya jatuh dari menara gereja, mengibaskan tangannya ke langit, dan kemudian dengan telanjang dada berlari memanggul salib besar di rumahnya, membawanya ke pantai, dan mencemplungkannya ke laut. Saya tak tahu pada bagian mana saya menangis dan kemudian tertawa, tapi saya merasakan kedua-duanya saat melihat adegan itu. Meski begitu, jangan lewatkan pidato tujuh menitnya dalam kebisuan pada pembaptisan cucunya.

 

Natsamrat: Sebuah Penemuan Besar

Ketika menulis bagian ini, saya juga baru saja menyelesaikan menonton Taxi No. 9211 (2006) di Youtube, dan sangat ingin berbagi pengalaman, betapa malangnya saya yang baru bisa nonton film ini meskipun pernah membeli kepingan DVD-nya nyaris 10 tahun lalu; ini film sangat bagus, dan sungguh beruntung John Abraham, aktor dengan tubuh berpunuk seperti sapi itu, pernah dipasangkan dengan Nana dan itu membuatnya—setidaknya—pernah bermain lumayan baik. Tapi, saya jauh lebih ingin membicarakan Natsamrat (2016), temuan besar dan terbaik saya tahun ini.

Natsamrat bercerita tentang Ganpat Belwalkar, seorang bekas aktor hebat yang memperoleh julukan Raja Panggung (natsamrat), yang menjadi gelandangan setelah dicampakkan oleh anak-anak yang mewarisi hartanya. Diangkat dari lakon teater berjudul sama yang ditulis Kusumagraj, yang telah dipentaskan sejak 1970, Natsamrat menghubungkan diri dengan tradisi teater Maharashtra yang sangat dipengaruhi lakon-lakon Barat, terutama lakon-lakon Shakespearean. Tapi, pada saat yang sama, film ini “sangat India” karena aroma drama keluarganya yang kuat—aroma yang melahirkan ribuan judul film pertahun dan telaga air mata di seluruh dunia. Dan ini memberi pengalaman menonton yang unik.

(Perlu diketahui, Natsamrat memang bukan film Bollywood, tapi film Marathi. Meskipun sama-sama berbasis di Mumbai, kedua jenis produksi sinema ini berbeda di bahasa dan orientasi; Bollywood dengan bahasa Hindi dan orientasi uangnya, sementara sinema Marathi memakai bahasa Marathi dan lebih berorientasi seni—meskipun perlu dicatat bahwa dari sinema Marathi-lah Bollywood dimulai.)

Nana tentu saja menjadi Ganpat, aktor kawakan yang jadi gelandangan. Dan itu membuat kita akan dimanjakan oleh banyak monolog, gumaman-gumaman larik-larik dialog dari Beckett, Ibsen, hingga lakon Mahabarata, dari mulut Nana, tapi terutama dari naskah-naskah tenar Shakespeare. Tapi bukan hanya itu. Sebab di Natsamrat Nana bukanlah penjahat bermuka dingin atau seorang pencinta atau suami yang obsesif, atau peran-peran stereotipe di kebanyakan film-film Bollywood yang dimainkan sebelumnya. Bukan cuma aktor kawakan yang kemudian jatuh, Ganpat adalah suami yang cengengesan tapi mesra, ayah yang terlalu mencintai anak-anaknya dan kemudian kecewa, kakek yang direnggutkan dari cucu kesayangannya, sekaligus sahabat yang merasa berdosa. Itu pemandangan langka.

Yang lebih langka, di film ini, tak seperti di kebanyakan film Bollywood-nya yang biasanya single fighter, nyaris sendirian memanggul beban film-filmnya, Nana punya sekondan yang sepadan pada diri Medha Manjrekar (berperan sebagai Kaveri alias Sarkar, istri Ganpat) dan Vikram Gokhale (sebagai Rambhau, sahabat dan sejawat aktornya). Frame-frame yang menampilkan Nana dan Manjrekar, dengan obrolan soal anak-anak mereka dan cinta yang tanpa syarat di masa tua, selalu membuat mata merembang—entah karena ikut bahagia, turut terharu, atau karena merasa sama sekali hancur. Dan itu hanya terjadi karena akting yang mumpuni.

Tapi yang paling mahal dalam Natsamrat tentu adalah melihat bertandingan akting dua aktor hebat pemenang Penghargaan Film Nasional untuk Aktor Terbaik, Nana dan Gokhale. Digambarkan sebagai dua aktor panggung yang bersahabat tapi sekaligus bersaing, Ganpat dan Rambhau selalu terlibat saling ejek, saling membongkar aib, saling tempeleng di depan istri masing-masing, sebelum saling berbisik untuk curi-curi minum di halaman belakang, atau saling memeluk ketika salah satu sedang terpuruk. Tapi yang paling tak bisa saya lupakan adalah dialog antara Rambhau dan Ganpat di bangsal rumahsakit.

Rambhau tengah terbaring sakit dan sedang bosan hidup setelah kematian istrinya, sementara Ganpat menyuapinya makan dengan rasa sayang sekaligus rasa bersalah. Tiba-tiba saja, Rambhau mengubah nada suaranya, menjadikan dirinya Karna yang tengah sekarat dan sedang menggugat takdirnya. Seluruh perawat terkejut, demikian juga Ganpat. Tapi, segera tahu apa yang mesti dilakukan, Ganpat segera malih rupa jadi Krishna yang bijak, dan mengingatkan kepada ksatria tertua Pandawa bahwa ia mesti memenuhi darmanya.

Sesudahnya, Anda hanya bisa memilih: jatuh dan berurai air mata atau bertepuk tangan, atau melakukan keduanya secara bersamaan.

 

Kerinduan yang Tak jua Terbayar

Peran Nana di Apaharan memperlihatkan dengan gamblang alasan kenapa Nana selalu saya rindukan.

Dia secara jelas memberi dimensi berbeda pada perfilman India. Perlu ada sosok antara yang bisa merukunkan karakter-karakter rata macam Inspektur Vijay dan Tuan Takur. Dan itu adalah karakter-karakter abu-abu yang banyak dimainkan Nana. Perlu ada kisah berbeda yang menyelingi cerita-cerita cinta berakhir bahagia ala Karan Johar. Dan itu adalah cerita-cerita di mana Nana bermain.

Tapi, dengan apa yang ditunjukkannya di Khamoshi dan terutama di Natsamrat, tak perlu ada penjelasan yang lebih panjang kenapa sinema India, lebih-lebih Bollywood, sangat membutuhkannya.

Dalam pada itu, secara bersamaan, menyaksikan Nana kembali selalu saja menimbulkan rasa sakit. Sebab, hal itu akan mengingatkan betapa saya merindukan kembali menonton Agni Sakshi, melengkapi menonton Angaar, melihat lebih utuh Kohram, Wajood, Krantiveer, Yeshwant, Hu Tu Tu, Yatra, dan film-film Nana lain yang saya lewatkan. Juga, karena saya tahu, tak seperti Shah Rukh atau Hrithik atau Salman, Nana selalu saja lebih sulit ditemukan.

Hal macam itu menimbulkan perasan serupa orang yang berjumpa orang tercinta namun hanya untuk berpisah lagi. Dalam keadaan seperti itu, rindu jadi tak pernah terbayar dengan sempurna.

Ah, Nana.

 

*merupakan spinn-off dari tulisan lama “Nana dan Saya”

Standar
film, shah rukh khan

Film-film Shah Rukh Khan yang Sebaiknya Tak Terlewatkan Sebelum Anda Menonton ‘Dilwale’ dan Kemudian Kecewa

 

srk-nov1-26

Oleh Mahfud Ikhwan

1/

Sebulanan belakangan, ada nuansa nostalgis di kampung saya. Orang-orang sedang keranjingan tv kabel, dan membicarakan tayangan-tayangannya saat di warung kopi. Tentang tayangan sepakbola yang tak habis-habis, siaran langsung shalat lima waktu dari Mekah, film-film Barat yang katanya “rada hot”, dan tentu saja film dan lagu-lagu India. Untuk yang terakhir itulah nuansa nostalgis tersebut terasakan. Setelah bertahun-tahun film-film India di televisi hanya diisi oleh Shah Rukh Khan dan Shah Rukh Khan, atau Shah Rukh Khan, dan nyaris cuma dari film-film produksinya Yash Raj semata atau Yash Raj bekerjasama dengan Red Chili, kami bisa kembali menemukan wajah Anil Kapoor muda, Sanjay Dutt yang masih semampai dan penuh amarah, Aamir Khan yang masih imut, dan tentunya wajah-wajah perempuan pujaan di tahun 90-an macam Raveena Tandon, Sridevi, Urmilla Matondkar, Madhuri Dixit, Juhi Chawla, dst. Baca lebih lanjut

Standar
film, shah rukh khan, terjemahan, wawancara

Shah Rukh Khan: Aku Suka Menjual Mimpi*

Wawancara: Subhash K. Jha; Alihbahasa: Mahfud Ikhwan

khan- swades

Swades, 2004

Pengantar Penerjemah

Menonton, mencermati, dan kemudian menulis soal film India membuat saya tak mungkin bisa melewatkan orang satu ini: Shah Rukh Khan. Teman-teman yang mengenal saya dan kebiasaan saya mencap saya membenci King of Bollywood ini, tapi mana bisa begitu? Saya memang sulit menikmati film-filmnya di tahun-tahun belakangan, bahkan judul-judul tertentu sama sekali tak tertarik menontonnya — lebih-lebih setelah filmaker-filmaker alternatif semakin membanjiri Bollywood dengan cerita-cerita yang sulit dibayangkan Shah Rukh ambil bagian. Tapi orang ini benar-benar tak bisa diabaikan begitu saja.

Saya sama sekali tak bisa melepaskan diri darinya. Tanpa terencana, video-video klip lagu India koleksi saya sebagian besar berasal dari film-film si Rahul ini. Film-filmnya yang pernah saya sukai, terus dan terus saya tonton, dan semakin saya sukai. Saya selalu bersimpati ketika ia adalah bajingan pengecut yang remuk redam dipukuli si jagoan dalam Daar dan Anjaam (keduanya rilis 1994); goyangannya yang lucu dan potongan rambut gondesnya dalam Dewanaa (1992) dan Baazigar (1993) selalu saya tonton bareng teman-teman di desa, dan selalu diakhiri dengan tawa bahagia; kematiannya, dengan wajah berlumur darah, mulut hancur, penuh liur, juga dengan sebatang rokok yang bengkok, dan seulas senyum mengejek, yang jadi puncak dari 30 menit penampilannya dalam Shakti: The Power (2002) selalu saya putar berulang-ulang–very wah, Khan saab!; adegan pada lagu ‘Haule Haule’ dalam Rab Ne Bana Di Jodi (2008) adalah tariannya yang paling kikuk tapi, karena itu, merupakan salah satu koreografi terbaik yang pernah dihasilkan perfilman India. Saya menyukai Swades (2004) dan Chak De! India (2007) dan akan terus menontonnya, begitu juga dengan Billu (2009). Dan, setiap matanya mulai berkaca-kaca, yang biasanya didahuli oleh bibirnya yang gemetar, sialnya, saya seringkali gagal untuk tak menangis bersamanya– meskipun adegan itu muncul di film yang secara keseluruhan tak saya sukai. Sebuah tulisan tentang wawancara imajiner dengannya menghantui saya selama bertahun-tahun, meskipun tak kunjung saya tulis. Dan semakin dalam saya tenggelam dalam samudera film India, semakin saya sadari betapa ia memang ada di sana, dan begitu besarnya.

Tanggal 02 November adalah ulang tahun Shah Rukh Khan. Dua minggu lalu, ikon Bollywood (khususnya bagi penonton di Indonesia) ini berusia 49 tahun. Sesuatu harus saya tampilkan di blog ini untuk ikut merayakan ulangtahunnya, entah itu sebagai penonton film India yang tumbuh bersama film-filmnya atau sekadar sebagai laki-laki sirik yang ikut gembira dengan ketuaannya.

Sementara wawancara imajiner saya dengannya tak kelar-kelar juga, tak banyak wawancara Shah Rukh Khan yang mengesankan saya. Kecenderungannya untuk selalu membuat orang lain merasa nyaman, terutama pers dan para fansnya, membuatnya jadi mesin penjawab yang membosankan. Tapi wawancaranya dengan Shubash K. Jha, seorang kritikus film India terkemuka, berikut ini mengungkap banyak hal subtil yang biasanya terlewat darinya. Kita bisa tahu bagaimana dia meletakkan dirinya dalam industri film yang membesarkannya; bagaimana ia memandang film itu sendiri; juga para penontonnya. Yang paling menarik bagi saya pribadi adalah bagaimana Shah Rukh menjabarkan kredo keaktorannya dengan menjelaskan keterkaitannya, terutama di masa lalu, dengan teater jalanan, sandiwara rakyat, seni bercerita, dan seni pertunjukan sebagai pelipur lara.

Selamat membaca. Baca lebih lanjut

Standar