aamir khan, film, Sejarah Film India, terjemahan

Taare Zameen Pe – Bukan Sebuah Review*

kashyapOleh Anurag Kashyap; terj. Mahfud Ikhwan

Pengantar Penerjemah

Taare Zameen Par (2007) adalah salah satu film terbaik yang pernah dibuat India, jika bukan yang terbaik. Ketika film ini diajukan sebagai wakil India untuk diajukan ke Panitia Oscar sebagai film berbahasa asing terbaik dan tak lolos masuk seleksi, publik India marah dan menyalahkan Slumpdog Milionaire, film Inggris tentang anak-anak miskin India, yang tahun itu merajai penghargaan Oscar. Film ini juga dianggap sebagai kesempurnaan dari sang Mr. Perfectionist, Aamir Khan, baik sebagai aktor, produser dan kemudian sutradara. Yang tak banyak disebut adalah adanya rumor bahwa film ini sebenarnya film Amol Gupte, sang penulisnya, yang “diambil alih” oleh Aamir Khan, yang jadi produser sekaligus aktornya.

Dalam sebuah wawancara, Amol Gupte mengatakan bahwa Taare Zameen Par adalah proyeknya selama bertahun-tahun, dan selama 109 hari syuting dialah yang ada di kursi sutradara. Tapi saat kru mengadakan Warp-up Party, menurut Amol, Aamir tiba-tiba mengumumkan bahwa Aamir-lah sutradara filmnya. Aamir Khan punya cerita yang berbeda. Menurutnya, setelah beberapa hari syuting, ia kecewa dengan hasil kerja penyutradaraan Amol. Akibat perselisihan kreatif, Aamir menyatakan ingin mengembalikan naskah Amol dan mempersilakannya melanjutkan film tersebut dengan bintang dan produser lain. Namun beberapa hari kemudian Amol menyatakan mundur dari kursi sutradara dan mempersilakan Aamir untuk mencari sutradara lain. Kuatir pergantian sutradara akan menunda film dan membuat wajah pemeran Ishan berubah, Amol kemudian mengusulkan agar Aamir saja yang jadi sutradara.

Lepas dari klaim siapa yang benar, pasca Taare Zameen Par, Aamir Khan tak juga menyutradarai film berikutnya. Ia malah semakin berkibar sebagai aktor lewat film-film sukses seperti 3 Idiots dan PK. Secara bersamaan, Amol Gupte justru semakin produktif dengan proyek-proyek film anak-anaknya. Pada 2011 ia muncul dengan film anak-anak, Stanley Ka Dabba, yang kemudian disusul Hawaa Hawaai (2014). Kedua film itu mendapat banyak pujian.

Tulisan Anurag Kashyap, yang kini adalah sutradara terkemuka India lewat film-film gelap macam Gulaal (2009) Gang of Wasseypur 1-2 (2012), ini mengindikasikan kebenaran klaim Amol Gupte, meskipun secara bersamaan ia tak sangat berhati-hati dan tak ingin membuat tuduhan. Yang paling menarik dari tulisan ini–dan karena itulah kenapa ia harus diterjemahkan–adalah gambarannya tentang keberadaan komunitas-komunitas epistemik, kantong-kantong seniman, atau apapun sebutannya, yang ada di balik industri film India, hal yang selama ini tak banyak disebut-sebut. Namun yang terpenting, dan yang paling patut digaris bawahi, di tulisan ini, Kashyap memuji Taare Zameen Par setinggi langit. (M.I.)

***

Apakah nama besar Aamir Khan itu dilebih-lebihkan? Apa ia hanya mitos buatan media? Lalu kenapa ia begitu mudah didekati dan amat rendah hati ketika bertemu dengannya, saat kau berpikir bahwa ia akan berlagak sombong? Kau bahkan bisa berbicara dengannya cukup lewat mata saja. Itu yang benar-benar aku lakukan setelah menonton Taare Zameen Par (TZP). Ya, aku tak bisa bicara saat menontonnya. Jadi, aku ngomongnya belakangan. Sebelumnya, aku tak membayangkan Aamir si sutradara sama briliannya dengan Aamir si pemilih[1]. Namun, rekan menontonku, yang juga seorang penggemar film-filmku, mengatakan setelah selesai film, bahwa sejak itu–ya, sejak film selesai–Aamir adalah sutradara favoritku.

Apakah TZP adalah film yang brilian? Ya. Tak diragukan. Apakah ini jenis film yang ingin kubuat? Tidak. Apakah ini jenis filmnya Aamir? Boleh jadi. Namun lebih dari itu, ini adalah karya yang penuh cinta kasih untuk anak-anak yang aku tahu dimiliki Aamir. Juga hal yang dimiliki Amol Gupte, si penulis cerita.

Amol Gupte adalah guru pertamaku. Pada 1993, aku masih mementaskan lakon teater dan sama sekali tak punya uang, dan Amol datang untuk menonton. Ia adalah pelukis yang hebat, lebih orisinil dibanding semua pelukis yang pernah kukenal. Juga seorang aktor bagus (ada yang ingat Guru Dakshina-nya Anupam Kher? Amol adalah salah satu pelakon utamanya.) Ia selalu ada di film-film bikinan (orang-orang) FTII[2]. Ia sejenis dengan orang-orang malang di film Amol Palekar[3] atau semacam itu.

Amol Gupte dan anak-anak

Amol Gupte dan anak-anak

Amol membimbingku dengan menjadikanku asistennya untuk sebuah seri televisi berjudul Tejas, yang diproduseri Saeed Mirza. Saat itu umurku 21. Aku menulis dialog untuk seri pertama, dan ketika Amol membacanya ia bilang: “Kamu adalah penulis, dan tak perlu dibimbing lagi”. Ia kemudian membawaku menghadap Saeed dan bilang: “Aku tak akan menulis serialnya, bocah inilah yang akan menulisnya.” Begitulah. Aku menulis, dan jadilah aku penulis.

Aku berhutang budi kepada Amol di awal-awal karirku. Kamarnya yang kecil di Alvarez House, yang pengaruh-pengaruhnya bisa dengan terang-benderang Anda lihat dalam TZP, adalah kawah candradimuka bagi banyak seniman. Di situ Vikas Sivaraman punya sebuah apartemen studio–boleh jadi ia masih di situ. Dan boleh jadi Amol masih nongkrong di situ (aku sudah lama tak bertemu dengannya). Alvarez House punya sebuah lantai tempat mereka meletakkan beberapa aquarium dan Amol menghabiskan banyak waktu dengan ikan-ikan di situ. Boleh jadi aquarium itu masih di situ.

Aku tak ingat betul kenapa tempat itu disebut Alvarez House, namun tempat itu sangat mudah ditemukan. Bangunan itu terletak di daerah Mahim[4], persis di belakang pojokan yang searah perempatan menuju pinggiran kota dan searah dengan jalur Thea-Worli; dua bangunan setelah taman kota yang terletak di belakang rumah sakit. Aku ingat ia memain-mainkan bolpoin hitamnya di atas porselen putih, menggambarinya dengan lingkaran-lingkaran kecil–lingkaran kecil yang masih akan diteruskannya, seperti yang ia pernah bilang kepadaku.

Ia sama sekali tak seperti yang dicita-citakannya, demikian juga lingkaran pertemanannya. Amol lebih akrab dengan Mansoor Khan[5] dibanding dengan Aamir. Ia dan Mansoor memulai sebuah PH iklan bersama-sama. Kalau Mansoor main drum, Amol mengerjakan semuanya. Di lingkaran itu juga ada almarhum Mahendra Joshi, sutradara teater yang biasa melempariku dengan sandal jika aku salah mengucapkan dialog saat latihan. Mahendra Joshi adalah orang yang juga menemukan Paresh Rawal, juga orang yang membangkitkan Shafi Inaamdar, dan dia juga yang mengubah Makarand Despande, dari seorang pemain kriket berbakat menjadi aktor cemerlang dan sutradara teater brilian. Aku adalah saksi bisu dari otak-otak encer yang pada satu masa turut bertanggung jawab membentuk diriku.

Kenapa aku harus menyeret-nyeret masalalu? Boleh jadi karena aku melihat banyak hal di tahun-tahun itu pada film ini. Bisa juga karena aku membayangkan bahwa mungkin saja TZP telah dibuat sejak 14 tahun lalu atau malah lebih lama lagi. Aku memuja Aamir Khan bukan semata karena aku berbagi inisial dengannya, tapi terutama karena keberaniannya. Ia seorang pekerja keras, disiplin, kadang menjengkelkan, juga keras kepala. Kenapa? Karena saat ia yakin, maka ia memang benar-benar yakin. Satu hal yang membuatku getun adalah, kenapa ia mengambil alih filmnya Amol? (Meskipun apa yang terjadi di antara keduanya hanya mereka sendiri yang tahu, dan aku tak mau menghakimi siapa pun di sini.)

Amir adalah aktor kreatif, namun kadang-kadang ia jadi terlalu ketat terhadap kreativitas orang lain–sebab ia ingin diberi tahu lebih dulu. Ia mau semuanya sempurna, dari mulai roti sarapannya hingga film-filmnya. Pasti sulit kerja dengan jenis orang macam ini. Tapi ada kok orang yang lebih rumit lagi. Namanya Kubrick. Aku tak ingin membandingkan skil Aamir dengan Kubrick, sebab TZP memang tak perlu dibanding-bandingkan (dengan karya Kubrick).

TZP adalah film yang luarbiasa jujur tentang seorang bocah disleksia dan dunia yang memandangnya dengan cara aneh, dunia yang seharusnya bisa memahaminya. Tak seorang pun yang ngomong saat film tayang; penonton membiarkannya bercerita sendiri dengan cara yang indah. Darsheel (Safary) yang jadi si bocah disleksia, benar-benar sebuah temuan hebat. Ia merampok hatimu dengan tatapan kosongnya.

“Apakah ini ikan Aamir atau ikannya Amol?” tanya Ishan.

Tidak, ini bukan jenis film yang ingin kubuat, bahkan bukan juga jenis film yang aku sukai. Untuk standarku, film ini terlalu bersimbah air mata. Tapi film ini tak mau lepas dari kepalaku. Deepa Bhatia, periset sekaligus editornya, yang sekaligus istri Amol Gupte, meletakkan semuanya dengan indahnya. Dan tentu saja Aamir pasti ada di sana bersamanya, demikian juga Amol, dan mereka pasti saling berdebat atau bahkan bertengkar untuk itu. Namun, yang terpenting, hasilnya adalah sebuah kerja cinta.

Meski demikian, momen yang paling meluluhkan hati di film ini adalah saat kredit muncul dan kita bisa melihat si kecil Darsheel Safary ada di urutan pertama, baru kemudian diikuti oleh nama Aamir Khan. Setelah itu, bocah itulah yang menyeretmu masuk ke cerita, dan bocah itulah yang kamu ingin lihat dan bukannya Aamir Khan si bintang film. Ini adalah hal penting yang harus dipelajari oleh orang-orang yang senang menjual wajah bintang film di poster-poster kepada penonton.

Film ini membawaku kembali ke masa-masa sekolahku. Aku seperti melihat masa kecilku dibeber di depanku, dengan pengecualian bahwa aku bukan penderita disleksia. Film itu membawaku kembali ke masa ketika guruku menolak cerita pendek dan puisiku di mading sekolah sebab katanya ceritaku terlalu gelap dan tidak murni muncul dari pikiran seorang bocah berumur 8 tahun. Mau tahu apa ceritaku? Ini kisah seorang bocah yang merencanakan balas dendamnya terhadap seorang tukang risak di bawah sebatang pohon asam di sebuah asrama sekolah. Bocah itu setiap hari berlatih melemparkan sebuah batu ke titik yang ia guratkan di batang pohon. Setiap hari teman-temannya melihatnya melempar dengan tepat sasaran dan menyorakinya. Sampai pada suatu hari, ia dengan sengaja memelesetkan lemparan itu, dan batu pun menghantam si tukang risak yang baru keluar dari kelasnya. Cerita itulah yang ditolak guruku.

Film itu menarikku ke sana–sangat pantas banyak orang membiacarakannya. Apa yang paling kusukai dari film ini adalah bagaimana cara kamera berlama-lama dengan adegan dan si bocah, tidak terburu-buru berpindah. Yang sangat kusuka juga adalah naskahnya. Benar-benar orisinil dan berakar kuat. Aku tak terlalu suka membicarakan bagian-bagian kecil dari alur dan ceritanya, dan lebih suka melihatnya secara keseluruhan. Pun, sebenarnya sangat aneh aku menulis tentang TZP dan bukannya menulis tentang “Hanuman Returns”[6] yang akan rilis minggu depan.

Tapi persetanlah! Film bagus adalah film bagus adalah film bagus! Dan pahlawanku di film ini adalah Aamir, yang selalu menaruh uangnya di tempat ia mencari makan. Untuk Ajay dan Sanjeev Bijli, terimakasih telah mendukung film ini—sungguh sebuah permulaan yang hebat buat PVR Pictures[7]. Semua aktornya bermain luar biasa, terutama Tisca Chopra (bekas ratu kecantikan dengan baju basah yang kini menjelma jadi aktris cemerlang). Sang bintang, Darsheel Safary, adalah jagoanku untuk meraih Actor of The Year, mengalahkan semua orang. Kali ini kupikir Shah Rukh Khan tak akan keberatan kalau kalah darinya. Sekali lagi, kita akan punya kanak-kanak yang jadi aktor terbaik setelah Shweta (Basu Prasad) memenangkan perhargaan untuk Iqbal (2005).

Namun, pahlawan sejatiku tetaplah Amol Gupte, untuk apa yang diguratkannya di atas kertas. Tulisan ini adalah sebentuk angkat gelasku untuknya. []

______

[*] Diterjemahkan tanpa izin dari “Taare Zameen Pe—Not A Review” dari Anurag Kasyap’s Blog, diposkan pada 8 Desember 2007

[1]. Aamir Khan dikenal dengan julukan Mr. Perfectionist. Ia misalnya menolak untuk memakai kumis dan rambut palsu untuk perannya sebagai prajurit sepoy pemberontak dalam film Mangal Pandey (2005) dan memilih untuk menunda syuting selama setahun lebih agar rambut aslinya tumbuh panjang dan kumisnya jadi baplang.

[2]. FTII (Film and Television Institute of India) adalah sebuah sekolah seni di bawah pengelolaan Kementerian Informasi dan Penyiaran, terletak di Pune, Maharashtra. Institusi ini menghasilkan banyak aktor hebat dan terkenal bagi industri perfilman India, Jaya Bachchan, Danny Denzongpa, Nasheruddin Shah, Om Puri, hingga Mithun Chakraborty. Dari sini juga lahir sutradara-sutradara hebat macam Ketan Mehta, Prakash Jha, Raju Hirani, dan Sanjay Leela Bhansali.

[3]. Amol Palekar adalah aktor sekaligus sutradara yang disegani di industri film India, dikenal karena kecenderungannya yang nyeni. Ia dikenal sebagai aktor lewat film-film komedi romantis seperti Chhoti Si Baat (1975) dan Gol Maal (1979), sementara sebagai sutradara ia dikenal lewat film seperti Paheli (2005), yang mewakili India untuk diajukan ke Panitia Oscar 2006. Tokoh-tokoh di filmnya memang tipikal, semisal pemuda yang tidak percaya diri, pengangguran yang berbohong agar mendapat pekerjaan, orang cacat, atau pedagang rakus yang tidak tahu istrinya diambil oleh jin yang menyerupainya.

[4]. Mahim adalah sebuah area di wilayah kota Mumbai.

[5]. Mansoor Khan adalah sutradara sekaligus sepupu Aamir Khan. Film garapan pertamanya Qayamat Se Qayamat Tak (1988) yang juga jadi debut sekaligus meroketkan nama Aamir Khan sabagai bintang baru Bollywood. Mansoor, bersama Aamir, juga dikenal karena aktivismenya bersama gerakan kemanusiaan anti-Revolusi Hijau, Narmada Bachao Andolan. Hanya sempat membuat empat film, Mansoor Khan kemudian memilih mundur dari dunia perfilman dan jadi petani organik.

[6]. Hanuman Returns (2007) adalah film animasi anak yang disutradarai oleh Anurag Kashyap.

[7]. PVR Pictures adalah perusahaan rumah produksi dan distributor film yang dimiliki oleh Ajay dan Sanjeev Bijli. Taare Zameen Par adalah film produksi pertamanya.

Standar

4 respons untuk ‘Taare Zameen Pe – Bukan Sebuah Review*

  1. Salam kenal, bhai. Saya pendatang baru di blog Bhai *kemana aja?hehe* tapi hobi Indianya udah lama~

    Bhai, mohon bahas film “Pyaasa” 1957 dan shayar-shayar yang mengena dari film itu.. Mohon jg bahas film “Woh Kaun Thi?” ya~

    • Aduh, Yaar… aku pernah dengar film-film itu, tapi belum nonton, hehe… aku tidak tahu harus nonton di mana. dan kadang, tak semua film yang kutonton bisa dengan gampang diresensi, hehe…

Tinggalkan komentar