Oleh Mahfud Ikhwan
*bagian terakhir dari dua tulisan
Inspektur Vijay: Memble tapi Kece
Film-film India bergenre ‘Inspektur Vijay’ oleh para pengritiknya mungkin akan dengan enteng dibilang sebagai film memble. Tapi, saya—sembari meminjam kalimat Jaja Miharja sekaligus membayangkan wajah Bachchan muda—dengan bangga akan katakan bahwa “biar memble, Inspektur Vijay tetaplah kece”.
Dalam banyak standar (film atau fiksi), agak sulit ditolak kalau sebagian (mungkin besar) film-film ala ‘Inspektur Vijay’ memang memble: kampungan, bercitarasa rendah, cerita klise, plot formulaik, penokohan yang datar dan hitam-putih, keaktoran yang seadanya—saya tak perlu kuliah sastra untuk tahu itu. Dengan sedikit pukul rata, kita bisa memadankan sebagian film-film India jenis angry young man dengan film-film Hollywood yang dibintangi Cuck Norris, JC van Damme, Steven Seagal, Eric Robert, atau Mark Dacascos. Tapi, ada sesuatu yang hampir pasti dibawa oleh Bachchan dan para penerusnya dari Bollywood yang tak bisa disuguhkan Norris dan rombongan jagoan dari Hollywood itu ke penonton: basis sosial-politik yang kental—bahkan terkadang berat.
(Oke, Anda sekarang boleh tahu, selain soal memori dan melankolia, faktor basis sosial-politik inilah yang membuat muka keruh Inspektur Vijay dkk. mendapat tempat terhormat di hati saya, mengalahkan Raj dan Rahul dan pacar-pacarnya, juga muka bersih dan rumah megahnya.)
Cerita dalam film-film India jenis angry young man—entah sengaja atau tidak—hampir selalu menautkan dirinya dengan kuat terhadap realitas yang ada di masyarakatnya. Tak cukup tahu latar belakang ideologi para kreator yang punya pengaruh besar di genre ini, macam Prakash Mehra atau Manmohan Desai, saya cuma bisa menduga kalau muatan sosial-politik itu bisa jadi karena konsekuensi formula-formula yang selalu dipakai berulang-ulang di film. Karakterisasi baik-jahat, miskin-kaya, penindas-tertindas, jelata-penguasa, yang secara setia dipilih oleh film-film macam ini, mungkin saja jadi sabab-musababnya. Misalnya, seorang penjahat kaya nan keji mestinya dilawan seorang inspektur polisi miskin dan baik hati, tuan tanah serakah sepantasnya digasak bocah yatim sebatangkara, atau seorang konglomerat jahat yang kongkalikong dengan pejabat haruslah diberangus pemuda berangasan dari sebuah kampung kumuh yang hendak digusur. Dalam pada itu, selain melulu soal balas dendam (yang hampir selalu ada), film-film angry young man kemudian mengunggah soal keadilan sosial, benturan antarkelas, hingga kesenjangan antara negara dan warganya.
Meski lamat-lamat dan memburam dalam ingatan (karena dulu saya tonton di tv hitam putih) saya tak bisa melupakan tokoh Iqbal yang dimainkan Bachchan di film Coolie, seorang yatim, tukang panggul kereta api (kuli), yang mengorganisir kawan-kawan sekerjanya melawan sang penindas, Zafar Khan. Tumbuh dengan memori bahwa buruh identik dengan PKI yang tak beragama, saya dibuat terpana oleh pahlawan buruh yang juga seorang pejuang agama ini.
Namun, yang paling mengesankan saya—dan karena itu tetap segar dalam ingatan—adalah saat Jagu, seorang preman resedivis, memimpin warga kampungnya yang hendak tergusur untuk mengepung, menduduki, membakar gedung parlemen, dan menyandera para wakil rakyat. Dibintangi oleh Jacky Shroff sebagai Jagu, film yang sangat belakangan baru saya ketahui berjudul Angaar (1992) ini memaparkan dengan gamblang dan telanjang tentang perjuangan sebuah komunitas yang jadi korban perselingkuhan pemilik modal dan pemegang kuasa. Menontonnya di awal umur 17, di masa Orde Baru mulai tercium bau busuknya, film ini jadi kursus politik paling mencekam di kepala dibanding ceramah-ceramah mantan aktivis kiri yang saya dapatkan saat di Jogja.
(Tak diragukan, film-film India dalam jenis inilah yang membuat film India terasa istimewa, dan karena itu mendapatkan loker khusus di hati saya. Tak diragukan juga, film-film dalam jenis inilah yang paling ingin saya lihat muncul di perfilman Indonesia.)
Kembalinya Inspektur Vijay
Saya sangat mungkin salah jika menyatakan bahwa setelah Kuch Kuch Hota Hai tak ada lagi film India berjenis angry young man. Meski tak lagi menemukannya selama bertahun-tahun, seperti film-film India dalam genre lain (sebut saja triller politik—satu jenis lagi yang sangat saya kagumi dari sinema India), film-film angry young man bisa jadi tetap diproduksi, meski jelas tak lagi jadi bagian dari arus utama sinema India. Namun, dengan segala catatannya, jenis film India yang tayang di televisi kita rasanya cukup untuk jadi acuan bagaimana nasib Inpektur Vijay dkk dalam belantika perfilman India. Seingat saya, film angry young man dengan tahun paling muda adalah Ghulam¬-nya Aamir Khan. Itu pun dirilis beberapa bulan lebih awal sebelum Kuch Kuch Hota Hai. Jadi, jika tak boleh dikatakan benar-benar menghilang, Inspektur Vijay dkk. pastilah sedang mendapat masalah serius di negeri asalnya sana.
Sampai kemudian—setelah tak kurang dari dua windu—muncullah Dabangg. Lalu, disusul Singham.
Dabangg (2010) berkisah tentang Chulbul Pandey, seorang bocah yatim yang diperlakukan secara tidak adil oleh ayah tirinya. Ketika dewasa, Pandey menjadi perwira polisi brangasan dan ugal-ugalan. Tindak-tanduk sang perwira memantik kemarahan Chedi Singh, seorang kepala bajingan yang juga sedang merintis karir sebagai politisi. Singh ingin menghancurkan sang polisi dengan memanfaatkan pengkhianatan Makhi, adik tiri Chulbul. Tapi setelah tahu kalau Singh berada di balik kematian Naini Devi, sang ibu, kedua saudara itu bersatu menghancurkan si bajingan.
Bajingan yang juga politisi pun harus dihadapi ‘Inspektur Vijay’ lain di Singham (2011). Berhasil membuat seorang kepala polisi di Goa bunuh diri akibat tak kuat menahan tekanan, Jaikant Shikre, seorang gembong bisnis penculikan yang juga politisi, justru mati kutu di hadapan kepala polisi desa bernama Bajirao Singham. Memanfaatkan pengaruhnya di kepolisian, Shikre yang marah merekayasa kepindahan sang inspektur desa ke Goa. Di Goa, dimana lembaga kepolisian rusak digerogoti korupsi dan berada di bawah pengaruh Shikre, Singham yang jujur dan idealis segera saja menjadi pesakitan. Tak cuma menghadapi teror dan tekanan dari Shikre, ia juga mesti menyaksikan rusaknya moral teman dan para atasannya. Tak mungkin menghadapi Shikre dengan cara biasa, Singham kemudian memakai cara yang sama dengan sang bajingan untuk bisa membongkar kejahatannya sekaligus membersihkan lembaga kepolisian.
Tak terbantahkan, Dabangg dan Singham dengan sengaja menautkan diri dengan tradisi film-film angry young man di sinema India. Kedua film bertokoh utama seorang inspektur polisi dengan seragam coklat mudanya. Tapi, ciri yang paling kuat tentu saja adalah formula yang dipakainya. Aparat jujur yang seorang diri berhadapan dengan sistem yang korup, pemuda baik hati melawan penjahat keji, penegakan hukum yang dicampurkan dengan pembalasan dendam, adalah resep yang telah dipakai hampir 40 tahun lalu, saat tokoh Inspektur Vijay menyeruak ke perfilman India lewat Zanjeer, dan diulang puluhan atau ratusan kali di film-film sejenis pada dekade ‘80-an.
Lagi pula, pilihan terhadap aktor Salman Khan untuk Dabangg dan Ajay Devgan untuk Singham jelas bukan sekadar soal urut kacang. Keduanya adalah bagian dari sebuah generasi—bersama Akshay Kumar, Sunil Shetty, dan beberapa yang lain—yang justru merintis status kebintangannya lewat peran-peran sebagai pemuda penuh amarah pada awal ’90-an. Salman Khan dengan wajah berminyak, tinju mengepal, atau dengan pistol mengacungnya, dapat kita temukan paling tidak pada film macam Baaghi: A Rebel for Love (1990), Patthar Ke Phool (1991), Veergati (1995) dan Karan Arjun (1995)—di mana dia terlihat jauh lebih jagoan dibanding Shah Rukh Khan yang jadi lawan mainnya. Ajay Devgan, lebih-lebih lagi. Ia boleh dianggap sebagai anggry young man terakhir—sebelum kedatangan Kuch Kuch Hota Hai. Merupakan anak kandung dari Veeru Devgan, seorang pengatur laga, Devgan menjadi salah satu aktor laga penting (kalau bukan yang terpenting) di tahun 90-an lewat film macam Phool Aur Kaante (1991), Platform (1993), Naajayaz (1995) dan Gundaraj (1995).
Di Singham, yang merupakan remake dari film Tamil Singam (2010), keterkaitan film ini dengan tradisi angry young man bahkan perlu diutarakan secara verbal. Dalam sebuah adegan, saat Inspektur Singham menyatakan tekadnya untuk menangkap sang penjahat Jaikant Shikre sekaligus membongkar kebobrokan institusi kepolisian Goa, seorang polisi tua berpangkat rendah dengan sinis menegurnya: “Aku dulu datang ke sini sebagai ‘angry young man’. Namun para perwira senior mengubahku menjadi kambing congek: tak boleh lihat, tak boleh dengar, tak boleh ngomong… Kau mau melawan orang-orang itu? Lawanlah. Bunuh mereka. Kamu akan dapati kejujuranmu hanya bisa bertahan dua hari. Tak seorang pun yang akan mendukungmu. Tak seorang pun.”
Tapi, tentu saja, Inspektur Vijay abad ke-21 ini tak benar-benar serupa dengan para pendahulunya. Mereka tetap saja anak zamannya, dengan ciri-khasnya sendiri. Seperti disebutkan Ashish dan Paul dalam bukunya, khususnya pada lema ‘Amitabh Bachchan’, kharisma Inspektur Vijay tahun ‘70-an ditegakkan di atas dua sosok perempuan, yaitu ibu dan kekasih. Itu membuat pada diri para pahlawan berpakaian kakhi ini amat melekat karakter anak berbakti sekaligus kekasih yang berani mati. Citra ini paling tidak bertahan hingga dekade ‘90’an. Inspektur Vijay generasi baru muncul dengan gaya sedikit berbeda. Mereka tampil dengan muka dan badan lebih sangar. (Judul Dabangg yang berarti ‘tak kenal takut’ dan Singham yang artinya ‘singa’ menegaskan kesangaran itu.) Kumis baplang dan dada lebar semakin menegaskan kesangaran mereka.
Yang lebih penting, tak seperti para jagoan pendahulunya yang rata-rata emosional (baca, cengeng), para inspektur baru ini memiliki emosi yang jauh lebih datar. Dalam Dabangg, Chulbul Pandey menangis saat mengetahui ibunya meninggal. Namun, itu hanya sebuah isakan kecil saja. Dan setelah itu, tak ada sebuah ode ratapan yang diperdengarkan—seperti yang biasa kita jumpai di film-film India tahun ’90-an. Di Singham, sosok ibu, meskipun ada, bahkan tak ambil peran sama sekali. Selain itu, kedua inspektur yang kita bicarakan ini juga bukan para pemuja cinta ulung seperti lakon di film India pada umumnya. Mereka jatuh cinta, menari saat bahagia, tapi sudah, sampai di situ saja. Baik dalam Dabangg maupun Singham, pasangan perempuan hampir seperti sampiran saja: mereka tak banyak berpengaruh dalam petualangan sang jagoan memberantas kejahatan.
Dalam hal ini, dibanding dengan Inspektur Vijay ala Amitabh Bachchan di Zanjeer, karakter Bajirao Singham dan terutama Chulbul Pandey lebih dekat dengan sosok John McClane, polisi sinting, brangasan tapi juga cengengesan, yang dimainkan Bruce Willis dalam Die Hard. (Perhatikan selera humor Pandey dan kaos dalam Singham!) Meski masih memberi tempat untuk sosok ibu dan kekasih, persona kepahlawanan mereka lebih diteguhkan dari seberapa banyaknya bajingan yang bisa mereka robohkan, seberapa besar ledakan yang bisa mereka hindarkan, atau seberapa banyak peluru yang bisa mereka tepiskan.
Penegas perbedaan para inspektur generasi terakhir ini dengan para pendahulunya adalah efek kerusakan yang mereka timbulkan. Tapi, tentu saja kerusakan itu bukan kesalahan mereka, melainkan karena semakin berkembangkan penerapan efek visual dalam perfilman India. Para inspektur sebelumnya biasanya hanya memukul udara, dan para penjahat terjerembab menghantam galon atau kardus kosong yang ditumpuk. Sementara, hal sebaliknya, tendangan Pandey atau sodokan Singham begitu telak, membuat para bajingan melenting beberapa meter ke udara sebelum berdebam menghantam mobil di bawahnya hingga ringsek. Tak heran, setiap sekuen perkelahian usai, kerusakan terlihat di mana-mana. Rumah runtuh, pohon rubuh, tiang listrik tumbang, dan bangkai mobil berserakan. Pokoknya seru dan rusak-rusakan.
(Para penggemar film-film Mithun dan Govinda pasti akan tercengang melihat betapa ganasnya para inspektur baru ini!)
Tapi, bagaimanapun, mereka tetap polisi asli India. Sikap dan cara mereka yang terang-terangan dan berapi-api memberantas ketidakadilan dan korupsi adalah sui generis, beda dengan lainnya; cuma India punya. Seting cerita yang tidak Mumbay centris—Dabangg di Uttar Pradesh, sementara Singham di Goa—juga menyumbang cukup besar ke-India-an film-film ini. Dan, satu lagi, mereka melakukan hal yang tak mungkin dilakukan John McClane: menari dan menyanyi.
Di India, Dabangg memecahkan semua jenis rekor film laris sesaat setelah rilis, sementara Singham menangguk sukses yang tidak kecil. Melihat karakterisasi industri film India, kesuksesan kedua inspektur ini tampaknya akan membangkitkan lagi Inspektur Vijay-Inspektur Vijay lain dari tidur panjang atau bahkan kematiannya (dengar-dengar, beberapa film dalam jenis ini, macam Agneephat dan Angaar bakal dibikin remake-nya). Dan mengingat kita di Indonesia sudah pernah merasakan keganasan mereka, maka bersiap-siap saja.
Para pemilik televisi, jaga baik-baik para boyband dan pria-pria cantik Korea yang kini sedang kalian piara. Sebab, Inspektur Vijay telah kembali…!!
Sambilegi, jelang valentine 2012